Teater politik
Mia Bloom menambahkan, bom bunuh diri juga memiliki nilai tambah, yakni bahwa dengan mengorbankan diri dalam tindakan yang dibuatnya sendiri, akan menempatkan lawan dalam aib moral. Ide di belakang bom bunuh diri adalah si pembunuh, melalui tindakan dramatis, menghasilkan dirinya sebagai korban paripurna sehingga dengan itu ia akan dilupakan sebagai pembunuh dan diposisikan sebagai orang dalam kesempurnaan moral (Mia Bloom dalam Pedahzur 2006, hal 26). Dengan demikian, dalam setiap bom bunuh diri selalu ada pembalikan moral, di mana pelaku dalam tindakan ekstrem paripurna yang membunuh dirinya sendiri berubah dari penjahat menjadi martir- setidaknya bagi kelompok dan simpatisannya. Bloom pada akhirnya menekankan bahwa bunuh diri teroris pada dasarnya adalah sebuah bentuk teater politik, di mana reaksi dari penonton merupakan hal yang sama pentingnya dengan tindakan bunuh diri itu sendiri.
Dalam meneliti lebih jauh motif-motif dalam bom bunuh diri, Bloom menemukan alasan-alasan teroris yang sifatnya praktis, yakni motif individual, motif organisasional, dan motif persaingan antar- organisasi teroris. Bloom sama seperti kebanyakan teoretisi lain memandang terorisme sebagai perwujudan tindakan dengan motif politik yang negatif, yakni kekerasan yang ekstrem. Motif politik dianggap sebagai satu-satunya hal yang mendorong atau membentuk tindakan.
Merumuskan suatu tipologi umum mengenai bunuh diri dalam terorisme merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Meski demikian, Ellen Townsend, dengan merujuk temuan dari berbagai peneliti, berpendapat bahwa dalam kasus bom bunuh diri, peran penggunaan doktrin merupakan hal yang sentral (Ellen Townsend 2007, hal 7). Pandangan Townsend ini kita temukan kebenarannya apabila kita bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh terhukum kasus teroris, Imam Samudra, bahwa: Sungguh, "membinasakan" (baca: mengorbankan) diri demi kemuliaan dienullah, dan demi melemahkan orang kafir, adalah satu prestasi yang cemerlang. Ia memiliki strata yang agung nan mulia. (Imam Samudra 2004, hal 185).
Pandangan Imam Samudra ini menegaskan bahwa salah satu unsur penting dalam tindakan bom bunuh diri pertama- tama adalah adanya doktrin mengenai "kemuliaan" tindakan. Kemuliaan tindakan itu sendiri bersifat abstrak dan hanya bisa dicapai apabila seluruh tindakan itu paripurna. Dengan itu ada dimensi pelampauan dalam setiap tindakan bom bunuh diri. Dengan tindakan itu ia berharap ia akan diintegrasikan ke dalam suatu kesatuan yang lebih besar yang belum ia saksikan, tetapi cukup ia yakini.
Dari sini jelas, ada sesuatu yang lebih abstrak dan subtil dari sekadar motif dan politik. Bunuh diri dilakukan karena tindakan itu sendiri telah terlebih dulu dihapus sebagai bunuh diri dan dimaknai sebagai jalan menuju kesempurnaan. Tindakan itu telah dideterminasi dengan suatu sistem pemaknaan yang baku dan tertutup. Akibatnya, tindakan pada dasarnya hanya artikulasi dari satu sistem keyakinan politik yang subtil. Tanpa doktrin, tanpa ketersediaan sistem abstrak yang memberikan makna terhadap tindakan itu, tak ada tindakan bunuh diri. Artinya, setiap bom bunuh diri adalah tindakan fondasional. Ia perlu rujukan sebelum diaktualisasikan ke dalam tindakan.