Kesimpulan yang sama
PT Lapindo Brantas sebenarnya memiliki kesimpulan yang sama dengan kami. Itulah yang menjelaskan mengapa mereka tidak takut melakukan pengeboran kembali dengan teknik yang benar dan menghindari sumber geotermal dengan tidak mengebor lebih dari 1.000 meter.
Bisa dikatakan, dengan melakukan pengeboran kembali, PT Lapindo Brantas saat ini secara tak sadar sedang membuka borok sendiri dan telah mengolok-olok masyarakat dan pemerintah.
Mereka berhasil memperdayai masyarakat dan pemerintah. Mereka senang melihat bagaimana ulah mereka ditanggung orang lain karena teperdayanya masyarakat dan pemerintah.
Mereka tentu senang DPR dan pemerintah menyatakan semburan lumpur panas Lapindo adalah bencana alam.Juga senang karena lagi-lagi pemerintah (sembilan tahun pasca bencana) kembali menggelontorkan uang sekitar Rp 700 miliar untuk menalangi kewajiban mereka.
Saya ingin berbagi tentang bagaimana PT Lapindo Brantas memperdayai kita dengan data yang mereka sampaikan dahulu.
Pertama, mereka bilang ada sesar Watukosek yang memanjang dari ujung Gunung Penanggungan sampai Pulau Madura.
Kedua, mereka bilang gempa Yogya telah mereaktivasi sesar Watukosek sehingga terjadi semburan lumpur panas.
Ketiga, mereka bilang rekahan-rekahan yang terjadi di sekitar semburan dan bengkoknya rel kereta api merupakan bukti reaktivasi sesar.
Mereka menggunakan teori perulangan gempa, reaktivasi sesar, dan teori gempa memicu gempa lainnya.
Nyatanya, rekahan-rekahan yang katanya terjadi searah dengan sesar Watukosek di lapangan polanya konsentris terhadap pusat semburan, yang lebih tepatnya berasosiasi dengan pembentukan kaldera gunung lumpur, bukan aktivitas sesar.
Rekahan ada jauh setelah semburan lumpur terjadi, bahkan bengkoknya rel kereta api terjadi setelah enam bulan semburan.
Hal ini jelas bertentangan dengan fakta reaktivasi sesar di mana seharusnya ketika terjadi reaktivasi sesar, maka harus serta-merta terjadi rekahan-rekahan, termasuk bengkoknya rel kereta api, dan diiringi dengan getaran atau gempa bumi.
Nah, yang terjadi di Lapindo itu pertama terjadi semburan dulu, disertai gas-gas, kemudian lama kita menunggu, berhari-hari, berbulan-bulan baru dapat dilihat rekahan-rekahannya, sudah itu tidak pernah terjadi getaran (gempa).
Apa tidak aneh kalau kejadiannya seperti itu? Seharusnya dengan sesar Watukosek yang memanjang sampai Madura (kurang lebih 100 kilometer), tidak mungkin ketika terjadi reaktivasi, tetapi tidak terekam gempa sama sekali!