CILACAP, KOMPAS.com — Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir dalam memori peninjauan kembali (PK), mengaku tidak tahu ada latihan militer di Aceh.
Memori PK ini dibacakan secara bergantian oleh tim penasihat hukumnya.
"Pemohon PK atau terdakwa (Baasyir) baru mengetahui adanya latihan militer (di Aceh) setelah (video) diperlihatkan oleh saksi Lutfi Haidaroh. Diperlihatkan, video latihan militer yang sebelumnya telah lama beredar di masyarakat," kata kuasa hukum Ba'asyir, Mahendradatta, di Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (12/1/2015).
Sidang tersebut juga menghadirkan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang terdiri atas Mayasari, Nana Wiyana, dan Rahmat Sori.
Lebih lanjut, Mahendradatta mengatakan bahwa pada saat itu, Baasyir tidak menyetujui adanya latihan militer dengan menggunakan senjata atau yang biasa disebut i'dad.
(Baca: Ajukan PK, Abu Bakar Baasyir Berharap Bebas)
I'dad adalah persiapan untuk membela agama, termasuk bela negara atau bela diri, sebagai bentuk tindakan pertahanan diri.
Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan latihan bela agama atau negara apabila sewaktu-waktu mendapatkan serangan dari pihak musuh yang menyerang menggunakan kekerasan.
"Pemohon PK sudah 'sepuh', tidak memungkinkan lagi sebagai peserta latihan militer sehingga tidak patut pemohon PK dijatuhi pidana lebih berat dari empat terpidana yang mempunyai peran lebih besar dalam latihan militer," katanya.
Dia mencontohkan terpidana Lutfi Haidaroh alias Ubaid, yang dihukum 10 tahun penjara karena memiliki peran sebagai pengumpul atau bendahara dari latihan militer di Aceh.
(Baca: Abu Bakar Baasyir Tempati Sel Khusus Napi Usia Lanjut)
Terpidana lainnya, Deni Suranto, yang merupakan Sekretaris Jama'ah Ansharut Tauhid (JAT) Pusat dan menjadi peserta pelatihan di Aceh, dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.
Selain itu, terpidana Agus Kasdianto, selaku peserta pelatihan, dihukum selama sembilan tahun. Terpidana Joko Sulistyo alias Mahfud yang menjadi peserta dan pelatih pada pelatihan di Aceh dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun. Terakhir, terpidana Komarudin dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun.
Membantah keterkaitan dengan terorisme
Mahendradatta mengatakan, peran pemohon PK berdasarkan fakta persidangan tingkat pertama adalah infaq "fisabilillah" untuk kepentingan i'dad bukan untuk terorisme. Meski demikian, Ba'asyir tetap dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun.
Menurut dia, Baasyir berperan menghimpun dana bagi korban atau kaum Muslimin di Palestina.
Terkait hal itu, Mahendradatta mengharapkan Majelis Hakim Agung berkenan menerima permohonan PK yang diajukan Ba'asyir, membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2442 K/Pid.Sus/2011 tanggal 27 Februari 2012.
(Baca: Banding, Hukuman Ba'asyir Dikurangi Enam Tahun)
Selain itu, Baasyir juga menuntut Majelis Hakim Agung bisa mengadili kembali, menyatakan pemohon PK dibebaskan dari segala dakwaan, serta merehabilitasi dan mengembalikan hak-haknya secara penuh seperti semula.
Baasyir meminta pula agar dia dilepaskan dari lembaga pemasyarakatan dan menghukum jaksa penuntut umum untuk membayar biaya perkara.
Usai pembacaan memori PK, Baasyir berkesempatan membacakan keterangan tambahan terkait PK yang dia ajukan.
(Baca: Saksi: Baasyir Menolak Pergi ke Aceh)
Dalam keterangan tambahan tersebut, Baasyir mengutip sejumlah surat dalam Al Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Setelah mendengarkan keterangan tambahan tersebut, majelis hakim mempersilakan jaksa penuntut umum untuk memberikan tanggapan. Namun, jaksa meminta waktu dua pekan untuk menyusun tanggapan.
Persidangan akan kembali digelar pada 26 Januari 2016 mendatang dengan agenda mendengarkan tanggapan jaksa serta keterangan saksi dari pemohon PK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.