Namun, karena masyarakat tidak percaya kepada polisi, akhirnya kasus-kasus tersebut kurang tertangani dengan baik.
Sejumlah upaya pun dilakukan. Rahma bahkan mencoba berdialog dengan para ulama dan syekh di wilayah tersebut, untuk memberikan pemahaman bahwa mereka harus lapor polisi jika mengalami tindak kekerasan.
Menurut dia, munculnya gap antara masyarakat dengan polisi di sana tidak terlepas dari persoalan internal di negara tersebut. Politik menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gap tersebut.
"Tapi kita enggak boleh ikut campur dengan urusan internal itu. Kita menilik ke belakang bahwasannya polisi di sana itu masih seperti polisi jahiliyah," kata dia.
Disergap
Berbeda dengan Indonesia, kondisi di Nyala terbilang rawan. Bahkan, kata dia, jika kondisi keamanan dikategorikan dalam skala level 1-6, Nyala berada di level 5.
"Jadi di sana saya kalau keluar camp itu tidak boleh tanpa pengawalan," kata dia.
Rahma mengaku, pernah disergap oleh kawanan perampok ketika hendak melakukan tugasnya, Padahal saat itu dirinya telah dikawal oleh sejumlah anggota IPO dari negara lain.
"Regu saya disergap sama rebel. Rata-rata yang diambil uang dan benda-benda di dalam mobil," kata dia.
Bukan perkara mudah menghadapi para perampok tersebut. Pasukan perdamaian PBB kerap dijadikan target sasaran perampok. Di sisi lain, mereka sulit untuk melawan para perampok karena dikhawatirkan justru menimbulkan persoalan baru.
"Nanti kita bisa dianggap melawan orang lokal. Jadi serba salah," ungkapnya.
Penghargaan dari Presiden
Rahma dan sekitar 140 anggota Satgas FPU Indonesia VII dan IPO menerima penghargaan Satyalancana Bhakti Buana dari Presiden Joko Widodo.
Penyematan tanda penghargaan itu dilakukan oleh Wakil Kepala Polri Komjen Budi Gunawan di Mabes Polri, kemarin.
Selama menjalankan tugasnya, Budi mengatakan, Satgas FPU dan IPO Indonesia kembali mendapatkan penghargaan sebagai satgas terbaik dari UNAMID.