Ia menjadi satu-satunya polisi wanita di antara barisan polisi laki-laki tergabung ke dalam kontingen satgas Formed Police Unit (FPU) Indonesia VII dan Individual Police Officer (IPO).
Kontingen itu sebelumnya bertugas dalam misi perdamaian PBB di Darfur, Sudan, selama setahun.
Rahma merupakan satu dari lima polwan yang ditugaskan Polri di wilayah tersebut. Penugasan itu merupakan permintaan langsung dari Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat.
"Saya mulai bertugas di sana Agustus 2014 lalu. Awalnya cuma enam bulan, lalu diperpanjang lagi enam bulan. Jadi saya dua periode di sana," kata Rahma.
Dalam menjalankan tugasnya, ia bertindak sebagai Gender Officer and Child Protection IPO yang ditugaskan di Ibu Kota Darfur Selatan, Nyala. Kawasan itu terletak di wilayah barat daya Sudan.
"Di sana saya patroli ke kantor-kantor polisi. Ngecek, ada kasus yang berhubungan sama anak-anak dan perempuan enggak. Terus kita kasih mentoring, udah bener apa belum penanganan yang dilakukan polisi di sana terhadap kasus perempuan dan anak-anak," ujar dia.
Selain mengecek laporan di kantor polisi, Rahma juga mengecek kondisi penjara-penjara yang terdapat di wilayah penugasannya.
Jika mendapati adanya kesalahan prosedur dalam penanganan narapidana, khususnya perempuan dan anak-anak, maka ia akan melaporkan hal tersebut ke pemerintah lokal dan PBB.
Setelah itu, PBB akan memberikan masukan kepada pemerintah Sudan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi.
Kendala dan tantangan
Rahma mengaku, banyak kendala dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Hal itu tidak terlepas karena adanya gap antara masyarakat dan polisi di sana.
Berbeda dengan kondisi di Indonesia, di mana masyarakat dapat bersahabat dengan petugas kepolisian.
"Mereka enggak mau lapor ke polisi dan ada rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada polisi," kata dia.
Dari sekian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, menurut dia, kasus pemerkosaan paling banyak terjadi di sana.