Rasanya semua masih ingat, kelahiran KPK tahun 2002 dilatari kehendak kuat untuk lebih efektif memberantas korupsi. Itulah kondisi obyektif waktu itu. Walau pahit, kenyataan menunjukkan betapa waktu itu bergelayut penilaian tentang kurang memuaskannya gereget, kinerja, dan capaian Polri dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Pembentukan KPK sebagai lembaga khusus dalam pemberantasan korupsi di samping Polri dan Kejaksaan dapat dikatakan kehendak keadaan. Perumusan fungsi dan kewenangan yang baru belakangan dikatakan hebat dan luar biasa tampaknya seiring cita waktu itu untuk memiliki lembaga yang mrantasi, yang once and for all, nggegirisi.
Karena itu, kalaupun baru sekarang muncul pengakuan bahwa semua itu cenderung berlebihan, ujung-ujungnya itu juga cuma dianggap mengamini sinisme bahwa KPK lahir ketika pikiran sedang panas dan perasaan geregetan melingkupi kejiwaan dalam perpolitikan nasional semasa awal reformasi.
Setidaknya, sekarang baru dirasakan, betapa makhluk baru yang diciptakan secara hebat, luar biasa, dan nggegirisi, ternyata dapat pula "memangsa penciptanya".
Beberapa kekuatan politik bahkan mulai mengkhawatirkan kondisi yang akan kian kurang menguntungkan apabila dalam posisi seperti saat ini, KPK berada di tangan kekuatan politik kelompok tertentu, atau jadi kekuatan politik yang kian tak mudah dikendalikan.
Koordinasi penanganan kasus
Dalam tulisan penulis sebelumnya (Kompas, 15/12/2012) telah diurai perlunya keberanian untuk memikirkan ulang perumusan desain tentang fungsi dan kewenangan lembaga itu.
Setidaknya, dengan melupakan segala "kekeliruan langkah" di masa lalu, jangka waktu dan pengalaman 12 tahun terakhir merupakan waktu yang cukup untuk mengkaji kembali dan memperbaiki konsepsi dan langkah yang selama ini dinilai kurang pas.
Dengan pertimbangan urgensi ataupun kebutuhan khusus, dulu atau kini, keberadaan KPK sebagai lembaga khusus di samping Polri dan Kejaksaan, dengan kewenangan yang "bulat": menyelidik, menyidik, menuntut, hingga mencegah, semuanya sudah bukan masalah lagi.
Dalam konsep pikir itu, KPK melakukan koordinasi dengan kedua instansi tadi. Perumusan hal itu sebagai tugas KPK sudah bagus, tetapi masih perlukah hal itu disertai kewenangan "mengoordinasi" penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, meminta informasi dan laporan dari instansi terkait (Pasal 7 UU KPK)?
Dalam ketiadaan kejelasan, bukankah pengertian pasal tersebut meliputi pengoordinasian kepolisian dan kejaksaan?