Praktik korupsi di kalangan pemegang kekuasaan semakin mengancam kehidupan demokrasi. Perbuatan yang ditakbirkan sebagai kejahatan luar biasa telah semakin endemik dan harus dihadapi dengan tindakan yang lebih luar biasa lagi. Salah satu opsi adalah ketentuan yang lebih tegas mengenai perdagangan pengaruh.
Secara umum, terminologi tersebut mengacu pada International Conventions On Corruption (artikel 18; artikel 12) dan United Nation Convention Against Corruption, intinya lebih kurang adalah perbuatan yang bermaksud menjanjikan pemberian atau penawaran sesuatu langsung atau tidak langsung kepada pejabat publik atau seseorang untuk mendapatkan keuntungan eksesif (undue advantage) agar pejabat publik atau seseorang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya.
Ada peluang melakukan regulasi yang tegas agar dapat memitigasi maraknya perdagangan pengaruh karena Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang No 7/2006 pada 19 September 2006.
Meskipun secara akademik, sebagaimana dipaparkan Willeke Slingerland (The Fight Against Trading In Influence, 2011), isu tersebut telah menimbulkan perdebatan sengit, lebih dari 160 negara melakukan hal yang sama sebagai upaya melawan korupsi.
Dalam hal ini, Indonesia Corruption Watch yang pernah menginisiasi kajian perdagangan pengaruh pada 2013, bersama kekuatan masyarakat sipil dan berkolaborasi dengan unsur-unsur negara yang masih memiliki niat baik, agar melanjutkan upaya mulia tersebut sehingga mandat rakyat kepada elite penguasa tidak disalahgunakan.
Sudah saatnya seluruh komponen bangsa bersatu melawan perdagangan pengaruh yang apabila dibiarkan pasti berpengaruh buruk terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan bersama.
J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 November 2015, di halaman 15 dengan judul "Bersatu Melawan Perdagangan Pengaruh".