Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yorrys: Semua Parpol Marah, Kasus Setya Novanto Harus ke Jalur Hukum

Kompas.com - 19/11/2015, 15:33 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Jakarta, Yorrys Raweyai, mengatakan bahwa penyelesaian kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto harus dilakukan secara transparan.

Yorrys mendorong agar kasus tersebut tidak hanya diproses melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (DPR), tetapi juga ke jalur hukum.

"Harus diawasi di MKD dan juga harus ke jalur hukum," kata Yorrys saat dijumpai di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (19/11/2015).

Yorrys menekankan perlunya profesionalisme MKD dalam menyelesaikan masalah ini. Pasalnya, tudingan atas pelanggaran Novanto telah mencoreng marwah DPR sebagai lembaga terhormat. (Baca: "Freeport Jalan, Kita 'Happy', Kita Golf, Kita Beli 'Private Jet'")

"Sekarang ini semua parpol kecewa, marah. Setya Novanto dipercaya menjadi Ketua DPR seharusnya bisa menjaga marwah sebagai lembaga terhormat," ujarnya.

Namun, Yorrys tidak ingin mendahului hasil pemeriksaan MKD terkait sanksi yang harus diberikan kepada Novanto jika terbukti mencatut nama kepala negara demi kepentingan pribadi.

Menurut Yorrys, sanksi untuk Novanto sebaiknya ditetapkan setelah ada putusan resmi pemeriksaan MKD atau penegak hukum. (Baca: MKD Putuskan Novanto-Fadli Langgar Kode Etik Ringan)

"Kalau kita (Golkar) kehilangan kursi pimpinan DPR, itu konsekuensi yang tidak kita harapkan," katanya.

Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan, Istana tidak akan mengambil langkah hukum terkait masalah dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke PT Freeport.

"Kita tidak ada waktu untuk ambil langkah hukum," kata Luhut.

Sudirman Said sebelumnya melaporkan Setya Novanto ke MKD atas kasus tersebut. (Baca: Menteri ESDM Akui Politisi Pencatut Nama Jokowi adalah Setya Novanto)

Dalam laporannya ke MKD, Sudirman menyebut Novanto bersama seorang pengusaha menemui bos PT Freeport sebanyak tiga kali.

Pada pertemuan ketiga, menurut Sudirman, Novanto meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. (Baca: "Politisi Kuat" Minta Saham 20 Persen ke Freeport untuk Presiden dan Wapres)

Sudirman mengaku mendapat informasi itu dari pimpinan Freeport.

Meski mengakui beberapa kali bertemu petinggi Freeport, Novanto membantah tuduhan dirinya mencatut nama Presiden dan Wapres. Ia mengatakan, Presiden dan Wapres adalah simbol negara yang harus dihormati dan dilindungi.

Belakangan, Novanto tak menyangkal ada pembicaraan mengenai bagian saham saat dia dan pengusaha minyak Riza Chalid menemui Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Pada transkrip percakapan yang diterima Kompas.com dari internal DPR, Rizalah yang menyatakan berniat memberi 9 persen untuk JK.

Novanto berkilah, maksud saham tersebut untuk negara, bukan kepala negara. (Baca: Setya Novanto: Saham untuk Negara, Bukan untuk Pak JK)

Novanto mengatakan, saham yang dibicarakan berbentuk divestasi. Divestasi tersebut akan disalurkan ke badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com