Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desa Punya Cara, Negara Punya Aturan

Kompas.com - 16/11/2015, 18:00 WIB
Oleh: Sutoro Eko

JAKARTA, KOMPAS - Hubungan antara negara dan desa tidak pernah cocok dan tuntas. Negara mengalami kesulitan membangun desa. Berbagai program pembangunan terus mengalir ke desa sejak 1970-an, tetapi seakan selalu pudar seperti "istana pasir".

Hari ini pelaksanaan UU Desa mengalami kesulitan serius. Setahun lalu, kehadiran UU Desa disambut dengan penuh antusias oleh para pemangku desa, tetapi kehadiran dana desa tahun ini mereka sambut dengan keraguan dan ketakutan.

Mengapa? Itu adalah  misteri desa. Clifford Geertz (1980) pernah berujar: "Negara-yang sewenang-wenang, kejam, hierarkis, kaku, tetapi pada dasarnya berlebihan-menunggangi 'komunisme patriarkal' masyarakat desa, memperoleh makan darinya, dan sekali-sekali merusaknya, tetapi tidak pernah benar-benar berhasil masuk ke dalamnya. Negara adalah impor dari luar dan merupakan gangguan eksternal, selalu mencoba menyerap desa, tetapi tidak pernah berhasil kecuali ketika menindas."

Intervensi "tata negara"

Desa bukan hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit administrasi pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah. Desa juga bukan sekadar komunitas lokal, pun bukan sebagai lahan kosong yang siap menerima beragam intervensi pembangunan, atau bukan pula sebagai pasar outlet proyek pembangunan. Desa merupakan identitas, institusi, dan entitas lokal seperti "negara kecil" yang memiliki wilayah, kekuasaan, sumber daya, pranata lokal, dan masyarakat.

Untuk memahami misteri desa, saya tidak perlu mencari teori-teori impor.  Saya mengingat kembali pepatah dan petuah Jawa "desa mawa cara, negara mawa tata".  Petuah ini bukan hanya memberikan pesan tentang multikuluralisme seperti halnya pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", desa mawa cara (desa dengan cara) membuahkan frasa "cara desa", yang bermakna desa memiliki cara, adat, kebiasaan, kearifan lokal dan prakarsa lokal.  Negara mawa tata (negara dengan tatanan) menghadirkan frase "tata negara" bahwa negara memiliki peraturan, hukum,  administrasi, birokrasi, perencanaan, keuangan, akuntansi, dan sebagainya.

"Cara desa" dan "tata negara" merupakan dua paradigma yang memiliki nalar dan kepentingan berbeda. Benturan antara dua paradigma itu membuahkan dilema intervensi negara masuk desa. Kalau negara tidak hadir, salah, tetapi kalau hadir, keliru. Negara tidak hadir disebut isolasi, yakni negara membiarkan desa tumbuh sendiri dengan swadaya lokal atau membiarkan desa dirusak oleh tengkulak ataupun korporasi. Desa bisa miskin, terbelakang, dan menjadi penonton di rumahnya sendiri karena negara tidak hadir (isolasi).
Negara hadir secara keliru dengan jalan memasukkan dan memaksakan (imposition) "tata negara" ke dalam desa. Dengan niat memperbaiki, para aparatus negara memandang desa dari Jakarta, berupaya mengubah "cara desa" menjadi "tata negara". Mereka tidak mengakui, menghormati, memberdayakan dan memuliakan "cara desa",  tetapi memasukkan "tata negara" dengan modernisasi, korporatisasi, teknokratisasi, dan birokratisasi.  Bahkan, aparatus negara melakukan mutilasi desa dengan cara beternak banyak kelompok masyarakat, sebuah kerumunan yang dilembagakan sebagai bentuk kanalisasi proyek pembangunan.

Rekognisi "cara desa"

Intervensi "tata negara" bukan hanya gagal dari sisi kehendak untuk memperbaiki dan membangun desa, tetapi juga menundukkan, melemahkan, dan merusak "cara desa". Dalam praktik, teknokratisasi-birokratisasi telah menghadirkan tiga penyimpangan.

Pertama, siasat lokal biasa ditempuh para pemangku desa yang cerdik untuk menembus kerumitan birokrasi, dengan spirit "melakukan hal yang salah dengan cara yang benar".

Kedua, penumpang gelap adalah para "konsultan jalanan" yang membantu desa menyiapkan dokumen perencanaan dan penganggaran desa guna memperoleh kucuran dana desa.

Ketiga, para aparat daerah sibuk melakukan asistensi dan verifikasi terhadap dokumen yang disiapkan desa, tetapi semua ini berujung pada pencarian rente.

UU Desa telah menyajikan rekognisi-subsidiaritas untuk menembus dilema negara antara isolasi dan imposisi.  Negara mengakui desa dan memberikan mandat kepada desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (pelayanan dasar, infrastruktur, ekonomi lokal, sumber daya alam, lingkungan, ketenteraman, kerukunan, dan sebagainya) dengan "cara desa" (adat istiadat, prakarsa, kearifan). Rekognisi ini merupakan jalan yang lebih tepat untuk menghadirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus membuat desa memiliki imajinasi dan kontribusi yang lebih baik kepada NKRI.

Karena mengakui dan memberi mandat, negara melakukan redistribusi dana desa. Dana desa adalah  hak dan kewajiban desa (rezim desa), bukan rezim keuangan yang teknokratis-birokratis.

Menjalankan rekognisi-subsidiaritas memang tidak mudah, tetapi juga tidak sulit. Sisi pertama adalah memotong kerumitan rezim administrasi-keuangan (penyaluran, pengelolaan, penggunaan, pengadaan, penatausahaan, pelaporan), seraya membuat instrumen dan prosedur yang simpel. Desa bisa mengelola keuangan secara sederhana, seperti yang dilakukan oleh pengurus RT atau takmir masjid.

Sisi kedua adalah tindakan pemberdayaan, yakni edukasi, katalisasi dan fasilitasi terhadap desa untuk menemukan, menyatukan, dan melembagakan kekuatan lokal (pengetahuan, kearifan, kepentingan, prakarsa) secara partisipatoris, menjadi basis tindakan kolektif para pemangku kepentingan di desa. Pemberdayaan ini tentu jauh lebih bermakna ketimbang para pemangku desa sibuk mengurus administrasi keuangan.

Sutoro Eko
Guru Desa STPMD "APMD" Yogyakarta dan Perancang UU Desa

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Desa Punya Cara, Negara Punya Aturan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Ridwan Kamil Sebut Pembangunan IKN Tak Sembarangan karena Perhatian Dunia

Nasional
Jemaah Haji Dapat 'Smart' Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Jemaah Haji Dapat "Smart" Card di Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Nasional
Kasus LPEI, KPK Cegah 4 Orang ke Luar Negeri

Kasus LPEI, KPK Cegah 4 Orang ke Luar Negeri

Nasional
Soal Anies Maju Pilkada, PAN: Jangan-jangan Enggak Daftar Lewat Kami

Soal Anies Maju Pilkada, PAN: Jangan-jangan Enggak Daftar Lewat Kami

Nasional
Kontras: 26 Tahun Reformasi, Orde Baru Tak Malu Menampakkan Diri

Kontras: 26 Tahun Reformasi, Orde Baru Tak Malu Menampakkan Diri

Nasional
Dilaporkan Ke Polisi, Dewas KPK: Apakah Kami Berbuat Kriminal?

Dilaporkan Ke Polisi, Dewas KPK: Apakah Kami Berbuat Kriminal?

Nasional
KPK Sita Mobil Mercy di Makassar, Diduga Disembunyikan SYL

KPK Sita Mobil Mercy di Makassar, Diduga Disembunyikan SYL

Nasional
Anggota Komisi X Usul UKT Bisa Dicicil, Kemendikbud Janji Sampaikan ke Para Rektor

Anggota Komisi X Usul UKT Bisa Dicicil, Kemendikbud Janji Sampaikan ke Para Rektor

Nasional
PKB-PKS Jajaki Koalisi di Pilkada Jatim, Ada Keputusan dalam Waktu Dekat

PKB-PKS Jajaki Koalisi di Pilkada Jatim, Ada Keputusan dalam Waktu Dekat

Nasional
Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Malah Putar Balik

Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Malah Putar Balik

Nasional
Dilangsungkan di Bali, World Water Forum Ke-10 Dipuji Jadi Penyelenggaraan Terbaik Sepanjang Masa

Dilangsungkan di Bali, World Water Forum Ke-10 Dipuji Jadi Penyelenggaraan Terbaik Sepanjang Masa

Nasional
Kritik RUU Penyiaran, Usman Hamid: Negara Harusnya Jamin Pers yang Independen

Kritik RUU Penyiaran, Usman Hamid: Negara Harusnya Jamin Pers yang Independen

Nasional
Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Ahli Sebut Struktur Tol MBZ Sulit Diperkuat karena Material Beton Diganti Baja

Nasional
DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

DKPP Panggil Desta soal Ketua KPU Diduga Rayu PPLN

Nasional
Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Anggap Publikasikan Nama Calon Menteri Tidak Tepat, PAN: Tunggu Prabowo Minta Dulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com