Pada saat bersamaan, membangun masyarakat untuk bersama-sama mencintai tanah air tak akan efektif jika mengandalkan pada peran individu.
Kolektivitas adalah kunci utama efektivitas dalam menghadapi tantangan nasional, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Pelatihan bela negara, oleh karena itu, dapat dipandang perlu. Dalam konteks ini, Lembaga Ketahanan Nasional sebagai lembaga pemerintah non-kementerian sebetulnya telah lama melakukan kajian mendalam tentang pengkajian strategis ketahanan nasional dan pemantapan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Lemhamnas dapat menjadi guru terbaik bela negara, sedangkan Kemenhan cukup menciptakan model dan konsep yang lebih melibatkan setiap komponen bangsa, seperti para siswa, organisasi masyarakat, lembaga pendidikan tinggi, organisasi profesi, dan pelaku industri.
Kemenhan dapat berperan sebagai lembaga intelektual yang mengedepankan metode kebersamaan.
Pendekatan keahlian profesi dan pelayanan publik tersebut dekat dengan dokumentasi John H Randall (1926) dalam bukunya, The Making of the Modern Mind, bahwa keadaban bangsa Eropa justru meroket ketika mereka mampu menempatkan ilmu dan profesionalitas yang bermanfaat bagi sesama sebagai basis moral dan kolektivitas, bukan pada komando atasan.
Inisiatif Kemenhan dalam memulai gerakan nasional bela negara patut diapresiasi dan setiap semangat mencintai bangsa patut didukung, tetapi program seperti ini harus lebih diformulasikan secara komprehensif, tidak hanya ditujukan pada potensi ancaman yang bersumber dari luar, tetapi juga dari dalam negeri, termasuk ancaman yang bersumber dari penyelenggara negara itu sendiri.
Jangan sampai bangsa yang berhasil menyelenggarakan politik bela negara justru "keropos" karena pelaku penggiatnya.
Farouk Muhammad
Wakil Ketua DPD RI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Bela Negara Progresif".