Oleh: Mochtar Pabottingi
JAKARTA, KOMPAS - Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat hal penting yang perlu disoroti.
Pertama, siapa pun yang hendak menjadi pelaksana pendidikan bela negara seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas untuk itu.
Kedua, sasaran kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan bela negara mestilah ditentukan oleh realitas di Tanah Air.
Ketiga, jika program ini dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut "revolusi mental", ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan menggampangkan.
Terakhir, di atas semuanya, kontroversi ini membuka pintu bagi kita untuk menilai bagaimana laku para pelaksana negara vis-à-vis ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya negara memperlakukan Pancasila selama ini.
Saya belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan yang cukup memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana pendidikan bela negara.
Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan kita sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu.
Kita tahu bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan munafik. Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru. Di sini "revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri dan dicampakkan, mustahil klop.
Kita tahu bahwa perusakan sendi-sendi kehidupan di dalamnya sudah berlangsung puluhan tahun ini dan mayoritas pelakunya para pelaksana negara sendiri berikut alat-alatnya-dulu lebih pada TNI, kini lebih pada Polri.
Ini berarti negara-bangsa kita menuntut koreksi tidak di masa depan, tetapi sudah selama puluhan tahun ini, dan sasarannya pastilah bukan terutama kaum muda, melainkan terutama kaum berusia empat puluh tahun ke atas-mereka yang kini menjadi penyelenggara negara atau alat-alat negara.
Kita tak memiliki kemewahan untuk membenahi negara-bangsa kita sepuluh atau dua puluhan tahun lagi.
Kita ketahui bahwa sejak Demokrasi Terpimpin, apalagi sejak Orde Baru, dan tak terkecuali di sepanjang apa yang disebut era Reformasi, para pelaksana negara beserta alat-alatnya sudah "suspect" vis-à-vis Pancasila.
Selama itu, deretan panjang "dosa masif" terhadap Pancasila telah dilakukan oleh para pelaksana negara sehingga sulit membuat bangsa kita melepaskan diri tidak hanya dari hujaman trauma politik, tetapi juga dari tiadanya kepercayaan masyarakat (societal trust) kepada para pelaksana negara.