Inilah yang membuat rekodifikasi KUHP sekarang dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan berpotensi membunuh lembaga-lembaga penegak pidana khusus yang diamanatkan oleh UU pidana khusus. Kekhawatiran ini pun diekspresikan oleh responden ketika menjawab pertanyaan terkait dengan perubahan status korupsi dari pidana luar biasa menjadi pidana biasa dalam KUHP.
Separuh bagian (50,5 persen) responden mengaku khawatir jika penanganan korupsi dan pencucian uang dengan KUHP. Pasalnya, dalam KUHP peran Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mendapat tempat yang layak sehingga semangat pemberantasan korupsi menjadi lemah. Reaksi yang sama diekspresikan oleh responden terhadap penanganan tindak pidana luar biasa lainnya.
Kekhawatiran ini mencerminkan keengganan mereka untuk menerima pengerdilan status kejahatan luar biasa untuk tindak pidana korupsi, pencucian uang, narkotika, terorisme, perdagangan orang, dan pelanggaran HAM. Artinya, meskipun tidak ada penolakan terhadap upaya pemerintah merevisi KUHP, publik tetap menginginkan pengakuan negara atas sejumlah kejahatan luar biasa itu. Revisi boleh dilakukan, tetapi tindak pidana seperti korupsi harus tetap ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa.
Penguatan negara
Salah satu semangat pembaruan hukum pidana melalui revisi KUHP adalah memberi kekuatan kepada negara untuk melindungi masyarakat dari ancaman tindak kejahatan. Karena itu, pemerintah berupaya untuk memperbarui hukum pidana secara mendasar, menyeluruh, dan sistemik, bukan secara ad hoc (parsial) dengan wujud draf revisi RUU KUHP 786 pasal.
Penempatan negara yang begitu kuat dalam revisi kali ini justru memunculkan kesan perlindungan yang berlebihan atas kekuasaan negara. KUHP ini memberikan proteksi yang kuat kepada negara sehingga hak-hak individual warga negara cenderung bisa diintervensi. Sebaliknya, negara tidak dapat diintervensi warganya karena terlindungi pasal-pasal soal penghinaan presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Menguatnya kekuasaan negara ini dikhawatirkan publik, apalagi ketika negara diperbolehkan untuk mengintervensi hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi warga negara. Pasal-pasal yang dinilai potensial membuka ruang bagi intervensi negara adalah perzinahan dan pornografi. Pada umumnya, responden tidak menolak ketika soal perzinahan dan pornografi dijadikan materi dalam KUHP.