Sisanya, sebagian besar calon perseorangan meraih suara jauh dari dukungan yang dikumpulkan saat pencalonan. Misalnya, di Pilkada Gresik, Mujitabah-Suwarno hanya meraih 7.260 suara, padahal saat pencalonan dukungannya mencapai 37.316 orang. Artinya, pasangan ini hanya mampu "mempertahankan" 19,4 persen dukungan saat pencalonan.
Hal ini menggambarkan dukungan yang dibawa calon perseorangan cenderung menjadi dukungan semu karena dukungan yang dikumpulkan saat tahap pencalonan tidak berbanding lurus dengan perolehan suara dalam pilkada.
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dalam situsnya merekam fenomena ini tidak ubahnya sebagai "dukungan palsu" yang jamak ditemui saat pemenuhan syarat dukungan calon perseorangan. Banyak calon nonparpol ini menyerahkan dokumen dukungan fotokopi KTP sesuai jumlah yang disyaratkan. Namun, saat diverifikasi, pemilik KTP menyatakan tak mendukung, bahkan tidak mengetahuinya. Sesuai pemantauan JPPR pada pilkada tingkat kabupaten/kota di enam provinsi tahun 2010, terdapat 10 pasangan calon perseorangan yang mengalami defisit jumlah perolehan suara.
Sementara itu, perolehan suara parpol atau gabungan parpol di atas kertas juga tidak berbanding lurus dengan perolehan suara pasangan calon yang diusung. Hal ini karena ada perbedaan perilaku memilih, antara memilih partai dan orang (sosok) dalam pilkada. Dukungan calon perseorangan pada tahap pencalonan di atas kertas semestinya berbanding lurus dengan suara yang diraih dalam pemilu.
Fenomena rendahnya elektabilitas calon perseorangan juga dikuatkan dengan hasil jajak pendapat Kompas akhir Agustus lalu. Sebanyak 47,3 persen responden menilai peluang calon yang diusung parpol lebih besar dibandingkan calon perseorangan. Hanya 27,5 persen responden yang meyakini peluang calon perseorangan sekalipun dari sisi kualitas, calon perseorangan dinilai lebih menjajikan.
Jalur alternatif
Citra yang menempel sebagai calon yang tak diusung parpol tampak menguntungkan di tengah terpuruknya citra parpol di mata publik saat ini. Situasi ini dimanfaatkan calon nonparpol dengan mencoba peruntungan politiknya.
Meskipun dengan persyaratan yang relatif berat dan rekam jejak peluang kemenangan yang lebih rendah selama ini, jalur perseorangan tetap menjadi alternatif. Bahkan, pada pilkada serentak yang digelar 9 Desember tahun ini, jalur nonparpol juga dipilih petahana yang meninggalkan dukungan parpol dan muncul sebagai calon nonparpol.
Litbang Kompas mencatat, dari 130 calon perseorangan yang dihimpun dari penetapan calon oleh KPU per 25 Agustus, terdapat 12 petahana yang maju menggunakan jalur perseorangan. Masing-masing enam pasangan (4,6 persen) berasal dari kepala daerah dan wakil kepala daerah petahana. Tentu saja, fenomena ini menarik mengingat dalam pilkada-pilkada sebelumnya petahana umumnya hampir selalu menjadi "rebutan" parpol untuk diusung.