Keempat, mereka memiliki banyak universitas dengan fokus pada riset yang bukan sekadar jargon. Riset dapat porsi besar di dalam kampus. Staf akademik bisa memilih untuk fokus pada perkuliahan, riset, atau gabungan keduanya. Di Indonesia, beratnya tugas perkuliahan yang harus ditanggung seorang dosen banyak dikeluhkan sebagai salah satu alasan minimnya output sains.
Kelima, universitas memberikan kepastian karier dan insentif kepada ilmuwan untuk tetap fokus dan berkarya supaya menghasilkan sains yang berkualitas. Sistem kenaikan pangkat yang menekankan pada produktivitas dan kualitas karya ilmiahnya berdasarkan penilaian sesama ilmuwan (bukan birokrat atau petugas administrasi) juga memastikan ilmuwan untuk fokus pada penelitian. Karena maju mundurnya karier seorang ilmuan bergantung pada output sainsnya. Universitas juga tak memberikan insentif berlebihan bagi jabatan struktural kampus sehingga jabatan struktural bukan menjadi tujuan utama karier seorang ilmuwan.
Keenam, mereka memiliki mahasiswa-mahasiswa PhD (S-3) dengan usia muda (25-30 tahun). Usia yang sering disebut ideal untuk menghasilkan penemuan baru. Gelar PhD dianggap sebagai modal awal karier seorang dosen atau peneliti, bukan akhir karier seorang dosen. Di Indonesia banyak yang memulai PhD-nya ketika usia sudah menginjak 30 tahun sehingga masa produktif pasca PhD pun menjadi pendek.
Tentu saja keenam hal di atas hanya sebagian dari karakteristik negara yang maju sainsnya. Pendidikan dasar dan menengah yang merangsang siswa tertarik pada sains, literasi sains masyarakat yang tinggi sehingga bisa membedakan antara sains dan pseudo-sains, dukungan media dengan pemberitaan sainsnya, dukungan swasta dalam adopsi teknologi serta peran filantropi dalam pendanaan merupakan bagian yang integral dari karakteristik negara dengan sains yang maju.
Apa yang bisa dilakukan?
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk membangun sains Indonesia seperti yang dicita-citakan. Ini bukan usulan baru, melainkan harus terus dikampanyekan sampai terjadi perbaikan.
Pertama, pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan investasinya di bidang sains. Peningkatan investasi yang cukup besar sehingga dalam jangka panjang bisa mendekati rata-rata dunia (sekitar 2 persen). Peningkatan anggaran ini bisa ditujukan untuk, tetapi tidak terbatas pada, peningkatan dana proyek penelitian yang diiringi pembenahan sistem alokasi supaya penelitian yang dilakukan berkualitas, penguatan lembaga yang sudah ada dan pembentukan lembaga penelitian atau universitas baru yang berbasis riset dengan segala fasilitasnya, dan peningkatan jumlah peneliti dibarengi dengan peningkatan kesejahteraannya.
Kerja sama antara AIPI dan Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP Kementerian Keuangan) untuk membentuk Indonesian Science Fund (ISF) bagi pendanaan riset dasar merupakan langkah awal maju yang perlu diapresiasi. Namun, langkah ini perlu dilanjutkan dengan dukungan pemerintah yang lebih besar lewat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pedidikan Tinggi dengan memperbaiki atau membuat sistem pendanaan riset yang kondusif bagi pengembangan sains.