Rendahnya dukungan pemerintah terhadap sains sudah banyak dikeluhkan. Alokasi dana untuk sains di Indonesia termasuk terendah di Asia Tenggara, yaitu 0,09 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Jika dibandingkan Malaysia (1 persen) dan Singapura (2,5 persen), kita sangat jauh ketinggalan. Dengan jumlah penduduk, wilayah, dan PDB paling besar, seharusnya Indonesia bisa jadi pemimpin di bidang sains di Asia Tenggara. Namun, karena komitmen pemerintah yang sangat rendah, output sains pun menjadi korban.
Indikator keberhasilan sains, seperti jumlah dan kualitas publikasi ilmiah di basis data tepercaya, seperti Scopus yang dirangkum The SCImage Journal and Country Rank, menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dari Thailand, Malaysia, dan Singapura. Ini menunjukkan ada ketaksepadanan antara kekayaan sumber daya dan keberhasilan sains di Indonesia.
Belajar dari negara lain
Untuk mempercepat pembangunan, tiap negara belajar satu sama lain. Tak terkecuali di bidang sains. Tentu saja tidak dengan menjiplak secara utuh, tetapi formula-formula sukses mereka yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik Indonesia bisa dijadikan acuan. Negara yang maju secara sains setidaknya memiliki ciri-ciri berikut.
Pertama, mereka memiliki akademi ilmu pengetahuan nasional yang terdiri atas ilmuwan-ilmuwan terbaik yang mampu menyediakan informasi sains terkini, mempromosikan kemajuan ilmu pengetahuan ke masyarakat, serta memberikan masukan independen ke pemerintah.
Indonesia sudah mempunyai AIPI, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sudah banyak yang dilakukan AIPI untuk mempromosikan sains, termasuk publikasi buku Sains45. Sejauh mana pemerintah mendengar masukan AIPI perlu dikaji lebih lanjut. Namun, tidak hadirnya Presiden ke acara ulang tahun ke-25 AIPI (Kompas, 24/05/2015) mengindikasikan bahwa pemerintah tidak menempatkan sains sebagai prioritas.
Kedua, mereka punya penasihat sains yang bisa memberi masukan sains langsung kepada presiden (di tingkat negara) atau kepada gubernur (di tingkat provinsi). Dengan adanya penasihat sains, kasus yang memalukan seorang presiden, seperti kasus blue energy (air sebagai sumber bahan bakar), tak akan terjadi. Tak adanya ilmuwan di Dewan Pertimbangan Presiden saat ini lagi-lagi menunjukkan rendahnya kepedulian pemerintah terhadap sains.
Ketiga, mereka memiliki lembaga riset nasional dengan anggaran besar yang mengatur pembagian dana riset ke seluruh ilmuwan di seluruh lembaga riset dan universitas. Pembagian terpusat ini disesuaikan dengan prioritas nasional dan dibagikan secara kompetitif, yang penilaiannya dilakukan oleh sesama ilmuwan. Hanya aplikasi penelitian yang mengusung ide baru dengan kualitas sains yang unggul serta diajukan oleh ilmuwan yang punya potensi dan rekam jejak hebatlah yang dibiayai. Jumlah dananya cukup besar (sekitar Rp 5 miliar per aplikasi) dan berjangka waktu 3-5 tahun. Di Indonesia, terbatasnya dana dan sempitnya jangka waktu penelitian menjadi salah satu alasan rendahnya kualitas hasil penelitian.