Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu Serentak yang Tidak Serentak

Kompas.com - 01/08/2015, 16:41 WIB

Salah satu contoh adalah di Kota Surabaya, yakni pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana yang diusul PDI Perjuangan. Posisi pasangan calon petahana ini sangat kuat, kemungkinan pasangan ini untuk menang dalam pilkada di Surabaya sangat besar. Akan tetapi, karena partai koalisi lawannya, Koalisi Majapahit, tidak mengajukan pasangan calon, Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana otomatis menjadi calon tunggal dan kehilangan kesempatan untuk terus melanjutkan masa baktinya.

Dengan menjadi calon tunggal, pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana harus menunggu hingga pilkada serentak berikutnya tahun 2017. Sementara mereka menunggu, Surabaya akan dipimpin oleh pelaksana tugas kepala daerah yang wewenangnya tidak sama dengan kepala daerah. Itu berarti juga tidak adil bagi masyarakat Surabaya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menawarkan tiga opsi (pilihan). Pertama, meminta kepada daerah, yang memiliki calon tunggal, menggunakan waktu tambahan untuk memunculkan pasangan calon pendamping. Kedua, merujuk pemilihan kepala desa, di mana calon kepala desa melawan bumbung kosong.

Untuk bisa berkuasa, calon harus mengalahkan bumbung kosong itu. Ketiga, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, opsi ketiga ini, oleh Mendagri, dinilai tidak relevan karena tidak ada unsur kegentingannya. Dari 269 daerah, hanya ada 14 daerah yang memiliki calon tunggal, dan satu daerah tidak memiliki calon sama sekali.

”Memaksakan” munculnya pasangan calon lain di luar calon tunggal dalam masa tambahan waktu dirasakan kurang pas, apalagi jika ada kegiatan transaksional di baliknya. Cara penyelesaian seperti itu secara prosedur benar, tetapi tidak benar jika dikaitkan dengan prinsip dan hakikat demokrasi.

Penyelesaian yang paling masuk akal bagi daerah yang memiliki calon tunggal adalah memilih opsi kedua, yang merujuk pada pilkades yang diikuti calon tunggal. Namun, untuk menggunakan opsi kedua itu, masih perlu dicarikan dasar hukumnya.

Keadaan seperti itu menunjukkan ada ketidaksempurnaan dalam penyusunan undang-undang karena tidak memperhitungkan seluruh kemungkinan persoalan yang dapat muncul dari penyelenggaraan pilkada serentak.

Jika saja di dalam UU itu ada keharusan bagi setiap partai politik yang mengajukan pasangan calon, kemungkinan munculnya pasangan calon tunggal dapat dihindari. Demikian pula dengan daerah yang sama sekali tidak memiliki pasangan calon.

Namun, pada saat ini, melihat ke belakang tidak banyak gunanya. Karena, di depan kita ada 14 daerah yang memiliki pasangan calon tunggal, dan satu daerah yang sama sekali tidak mempunyai pasangan calon. Pemerintah perlu mencarikan jalan keluarnya tanpa ada yang merasa dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil agar jangan sampai terjadi pilkada serentak yang tidak serentak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ahli Sebut Tol MBZ Masih Sesuai Standar, tapi Bikin Pengendara Tak Nyaman

Ahli Sebut Tol MBZ Masih Sesuai Standar, tapi Bikin Pengendara Tak Nyaman

Nasional
Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Ahli Yakin Tol MBZ Tak Akan Roboh Meski Kualitas Materialnya Dikurangi

Nasional
Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Tol MBZ Diyakini Aman Dilintasi Meski Spek Material Dipangkas

Nasional
Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Jet Tempur F-16 Kedelepan TNI AU Selesai Dimodernisasi, Langsung Perkuat Lanud Iswahjudi

Nasional
Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Kemensos Siapkan Bansos Adaptif untuk Korban Bencana Banjir di Sumbar

Nasional
Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Ahli Sebut Proyek Tol MBZ Janggal, Beton Diganti Baja Tanpa Pertimbangan

Nasional
Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Jokowi Kembali ke Jakarta Usai Kunjungi Korban Banjir di Sumbar

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kami Masih Ada dan Akan Terus Melawan

Nasional
Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Dewas KPK Sudah Cetak Putusan Etik Ghufron, tapi Tunda Pembacaannya

Nasional
Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Anggota Komisi VIII Kritik Kemensos karena Tak Hadir Rapat Penanganan Bencana di Sumbar

Nasional
PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

PAN Tak Mau Ada Partai Baru Dukung Prabowo Langsung Dapat 3 Menteri

Nasional
Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com