JAKARTA, KOMPAS - Gema takbir di hari kemenangan Idul Fitri berkumandang di seluruh Nusantara, memberikan harapan untuk menata kehidupan bernegara mewujudkan kebahagiaan. Dari sekian banyak isu politik, keputusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 33/PUU-XIII/2015, yang menyatakan Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, mencemaskan banyak kalangan karena dianggap semakin menyuburkan politik dinasti.
Dalam perspektif universal, keputusan Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu fundamen mengukuhkan sendi-sendi demokrasi. Namun, sekaligus juga memberikan isyarat bahwa para pembuat peraturan perundangan harus mempunyai politik perundang-undangan yang jelas. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) harus mempunyai kebijakan hukum perundang-undangan untuk mewujudkan tujuan tertentu. Oleh karena itu, satu undang-undang dengan undang-undang yang lain harus terintegrasi dalam suatu sistem yang komprehensif.
Dari sudut pandang ini, politik dinasti adalah akibat dari proses politik perundang-undangan yang dangkal serta tidak mempunyai paradigma yang jelas. Tegasnya, absennya niat baik para penyusun undang-undang menjadi kausa suburnya politik dinasti dewasa ini. Keputusan Mahkamah Konstitusi menemukan validitasnya karena daya pukul Pasal 7 Huruf r ternyata sangat mudah dilumpuhkan oleh para petahana dengan mengundurkan diri agar sanak saudaranya atau kroninya dapat menjadi kandidat kepala/wakil kepala daerah.
Perspektif tersebut sejalan dengan berbagai kajian politik dinasti antara lain di negara yang dianggap kampiun demokrasi, Amerika Serikat. Politik dinasti bukan sebab, melainkan akibat melekat dari hakikat kekuasaan itu sendiri.
Studi politik dinasti yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo, dan Jason Snyder (2007) mengenai dinasti politik di Kongres Amerika Serikat sejak berdirinya tahun 1789 memberikan beberapa catatan. Pertama, terjadi korelasi antara dinasti politik dan kompetisi politik. Merebaknya politik dinasti berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam kontestasi politik, semakin menyuburkan politik dinasti. Kedua, semakin lama seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung mendorong keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan yang cenderung memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan mereka disebut dengan power begets power.
Hal yang mirip juga pernah dikemukakan Robert Michel (1911), dengan teorinya yang disebut hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy). Intinya, bahkan dalam kepemimpinan organisasi yang demokratis, pemimpin cenderung mencengkeram kekuasaannya dan menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi. Putnam (1976) juga mengingatkan, elite politik pemegang kekuasaan cenderung melanggengkan kekuasaan (self-perpetuating) meskipun mengakibatkan pembusukan terhadap institusi itu sendiri.
Politik dinasti juga semakin meluas karena sistem kekerabatan, seperti favoritisme atau patronase, kroniisme, dan nepotisme.
Kekhawatiran masyarakat sangat dipahami terkait merebaknya dinasti politik. Ini karena, menurut mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, pada tahun 2013 sebanyak 61 kepala daerah atau 11 persen dari semua kepala daerah di Indonesia mempunyai jaringan politik kekerabatan atau dinasti politik. Bahkan, gejala menguatnya dinasti politik telah menjebak demokrasi menuju dynast-ocracy (dinastokrasi) sudah diangkat dalam editorial The Jakarta Post edisi 21 Agustus 2008.
Dalam perspektif kekinian, keputusan Mahkamah Konstitusi dikhawatirkan membuat politik dinasti semakin sulit dikendalikan. Para pemegang kekuasaan semakin leluasa membangun imperium dinasti politik. Hal ini karena praktik demokrasi selama lebih kurang satu setengah dekade terakhir semakin oligarkis dan proses rekrutmen politik didominasi oleh kapital. Persaingan elite politik tidak didasarkan atas kualitas komitmen mereka terhadap kebijakan publik yang memihak rakyat, melainkan transaksi kepentingan kekuasaan.
Perasaan miris terhadap merajalelanya politik dinasti juga dapat dirasakan dalam sidang Panitia Kerja Komisi II pada waktu menyusun RUU Pilkada sekitar pertengahan tahun 2013. Sayangnya, momentum keprihatinan dan niat baik para pemutus politik untuk mengendalikan laju politik dinasti tidak disertai dengan perdebatan mendalam. Politik dinasti dianggap sebagai penyebab rusaknya tatanan demokrasi. Maka, formula mengontrol politik dinasti adalah kandidat kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan, yang dikaitkan dengan hubungan kekerabatan, dengan petahana. Pada titik ini sebenarnya dapat dirasakan absennya politik perundang-undangan negara dalam menyusun regulasi.
Belajar dari praktik penyusunan regulasi yang tanpa politik perundang-undangan serta kelihaian elite politik memanipulasi pasal dalam regulasi, perang melawan politik dinasti harus dilakukan dengan menyusun atau merevisi undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan negara, antara lain Undang-Undang Pemilu (Presiden, DPD, DPRD, dan Partai Politik), secara komprehensif, memakai paradigma yang jelas, serta sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
Namun, keinginan itu hanya dapat terwujud kalau warga negara berpartisipasi penuh dalam proses politik tersebut. Tanpa dukungan yang signifikan dari masyarakat, demokrasi di Indonesia akan selalu terjebak pada ganasnya transaksi kekuasaan yang mengandalkan kapital. Semoga berkah Hari Kemenangan semakin menjadikan manusia Indonesia berdaulat atas dirinya sendiri serta mengobarkan semangat bertanding untuk berbuat baik terhadap sesama.
J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 15 dengan judul "Politik Dinasti, Sebab atau Akibat?".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.