Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harus Mundur, Anggota DPR Merasa Dihalangi MK Jadi Calon Kepala Daerah

Kompas.com - 10/07/2015, 07:59 WIB
Ihsanuddin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPR RI Syarif Abdullah Al Kadrie mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan anggota Dewan mundur saat mendaftar dan sudah ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Menurut dia, keputusan tersebut menghalangi anggota Dewan yang memiliki kapasitas untuk maju sebagai Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pada pilkada 9 Desember mendatang.

"Sekarang mana ada lagi (Anggota Dewan) yang mau maju kalau baru daftar sudah diminta mundur," kata Syarif, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis Kamis (9/7/2015).

Sekretaris Fraksi Nasdem ini berniat maju sebagai calon Gubernur Kalimantan Barat pada pilkada serentak periode berikutnya, tahun 2018 mendatang. Namun, dengan putusan MK ini, niat tersebut akan dia pertimbangkan ulang.

"Saya pikir-pikir dulu," kata dia.

Padahal, lanjut Syarif, banyak anggota DPR baik di pusat dan daerah yang sebenarnya memiliki modal dan kapasitas untuk menjadi calon kepala daerah. Dia pun membandingkan putusan ini dengan putusan MK lainnya, yang mengizinkan keluarga calon petahana maju sebagai kepala daerah.

"Putusan MK ini liberal. Keluarga incumbent yang bisa menimbulkan dinasti politik diizinkan. Tapi saat anak-anak terbaik bangsa mau maju sebagai calon kepala daerah, malah dibatasi," kata dia.

Apalagi, lanjut Syarif, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dia pun mengusulkan ada kajian yang meninjau ulang putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini. Menurut dia, akan lebih baik jika putusan MK dikoreksi karena bisa jadi banyak kesalahan yang dibuat.

"Memangnya MK ini Tuhan," ujarnya.

MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Mahkamah menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana itu, telah melanggar konstitusi dan mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.

Selain itu, MK juga mengubah ketentuan pasal 7 huruf s UU Pilkada. Pasal tersebut dianggap telah diskriminatif, karena tidak mengharuskan anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk berhenti dari jabatannya, melainkan cukup hanya memberitahukan pencalonannya kepada pimpinan masing-masing. Padahal, penyelenggara negara lain yakni pegawai negeri sipil harus mundur dari jabatannya.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Ahli Sebut Keawetan dan Usia Tol MBZ Berkurang karena Spesifikasi Material Diubah

Nasional
PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Nasional
TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

Nasional
Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Nasional
Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Nasional
Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

Nasional
Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Nasional
Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com