Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei "Kompas": Konsolidasi Tersandera Kasus Hukum (2)

Kompas.com - 28/04/2015, 15:12 WIB


Oleh: Bestian Nainggolan/ Bambang Setiawan

JAKARTA, KOMPAS.com - Keselarasan antarlembaga hukum menjadi persoalan krusial selama enam bulan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Silang sengkarut di bidang hukum yang dipicu pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri membuat persepsi masyarakat yang tadinya positif menjadi negatif dalam memandang kinerja pemerintah. Konsolidasi pemerintah pun menjadi taruhan.

Sepanjang enam bulan usia pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penegakan hukum dan keadilan masih jauh dari harapan. Niat pemerintah melakukan reformasi agar hukum makin bermartabat dan tepercaya tampak makin tenggelam ditelan arus ketidakpercayaan publik.

Bagi publik, apa yang berlangsung dalam kurun waktu enam bulan ini tampaknya lebih banyak mengungkapkan kecenderungan semakin lebarnya jarak persepsi yang terbangun antara publik dan pemerintah dalam memandang persoalan penegakan hukum serta keadilan. Jarak persepsi publik adalah besaran selisih antara ekspektasi dan yang belum dijawab oleh kinerja pemerintah. Makin senjang jarak, semakin banyak publik yang merasa kecewa.

Jarak persepsi yang kian senjang berlangsung pada pemerintahan saat ini. Dibandingkan dengan kinerja enam bulan masa kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya, derajat penurunan terhadap kinerja pemerintahan saat ini dalam penegakan hukum dan keadilan relatif lebih curam.

Lebih dari separuh bagian responden (54 persen) menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap upaya penegakan hukum di negeri ini. Dibandingkan dengan era penilaian tiga bulan sebelumnya, peningkatan ketidakpuasan ini tampak signifikan. Dibandingkan dengan dimensi lain, seperti perekonomian, kesejahteraan masyarakat, ataupun politik keamanan, dimensi hukum dan keadilan paling anjlok penurunannya.

Titik kritis penilaian publik terjadi dalam upaya pemberantasan korupsi. Jika pada tiga bulan sebelumnya hampir dua pertiga bagian responden merasa puas dengan upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kini lebih banyak responden merasa tidak puas.

Jaminan keadilan layanan aparat penegakan hukum juga masih dipandang sebelah mata. Responden menganggap penegakan hukum hanya berlaku pada kalangan masyarakat bawah, tetapi tidak akan menjangkau kalangan atas, terlebih mereka yang memegang kuasa.

Jika dihimpun, rata-rata penurunan apresiasi publik terhadap persoalan penegakan hukum selama tiga bulan terakhir ini hingga 15 persen, jauh di atas penurunan persoalan ekonomi yang besarnya di bawah 10 persen atau politik dan keamanan yang rata-rata sekitar 10 persen.

Pemicu

Fakta opini di atas tidak lepas dari informasi yang diserap masyarakat dalam memandang praktik penegakan hukum di negeri ini.

Kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) menjadi cobaan paling berat pemerintahan Jokowi-Kalla. Dipilihnya BG sebagai kandidat tunggal Kapolri mengundang kritik karena dia diduga terkait dengan rekening gendut pejabat Polri. Publik juga mengaitkan namanya dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri karena BG merupakan ajudan Megawati saat menjadi presiden.

Penolakan makin menjadi setelah Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka. Langkah ini membuat mereka harus nonaktif dari jabatan sebagai pimpinan KPK. Meski akhirnya BG tidak dilantik dan proses pencalonan Kapolri diulang dengan mengajukan nama lain, Badrodin Haiti, gelombang rasa penasaran publik telanjur besar.

Persoalan melebar menjadi perseteruan antarlembaga, khususnya antara KPK dan Polri, yang kemudian menyeret pula pengadilan dan kejaksaan.

Drama hukum kasus BG dalam tiga bulan terakhir telah memperuncing kecurigaan publik tentang temali erat antara kekuasaan, arogansi kelembagaan, dan hukum pada enam bulan pemerintahan Jokowi-Kalla. Ketidakselarasan-yang sesungguhnya kerap terjadi dalam pemerintahan baru-lewat kasus BG mengemuka menjadi batu sandungan yang sangat keras bagi pemerintahan Jokowi.

Narkoba

Namun, di sisi lain, upaya penegakan hukum yang coba ditunjukkan dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan mendapatkan penilaian positif. Penanganan kasus kejahatan narkoba, misalnya, mendapat simpati sebagian besar masyarakat. Pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba menjadi salah satu persoalan yang diapresiasi sebagian besar responden.

Akan tetapi, belakangan ini, pelaksanaan eksekusi hukuman mati dirasakan makin dilematis. Tekanan politik yang muncul dari dalam dan luar negeri membuat kelanjutan eksekusi para narapidana jadi terhambat. Dalam situasi yang serba dilematis ini, terjadi pula penurunan apresiasi publik terhadap upaya pemerintah. Saat ini, hanya separuh bagian responden yang menyatakan puas. Separuh lainnya menyatakan rasa ketidakpuasan terhadap penanganan persoalan kejahatan narkoba. Kondisi demikian jika dibandingkan dengan periode penilaian sebelumnya, terjadi penurunan hampir 15 persen.

Di tengah penilaian minor terhadap berbagai kinerja pemerintahan, sebenarnya masih terdapat sisi lain yang menunjukkan rasa optimistis publik terhadap pemerintah saat ini. Tak kurang dari 63 persen responden masih yakin bahwa keterpurukan dalam penegakan hukum ini mampu diperbaiki oleh pemerintah di masa mendatang. Persoalannya, kini, bagaimana Jokowi-Kalla bersama segenap jajaran kabinetnya mampu menunjukkan aksi-aksi konkret penegakan hukum yang berdampak pada peningkatan kepercayaan masyarakat? Dengan kepiawaian membaca persoalan, meramu jawaban, dan keberanian bertindak, dengan sendirinya publik akan merasa lebih diyakinkan dengan kualitas pemerintahan saat ini. (Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Anggota DPR-nya Minta 'Money Politics' Dilegalkan, PDI-P: Cuma Sarkas

Anggota DPR-nya Minta "Money Politics" Dilegalkan, PDI-P: Cuma Sarkas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com