Oleh: Yudi Latif
JAKARTA, KOMPAS - Orang bilang, tanah kita tanah surga; kaya sumber daya, indah-permai bagai untaian zamrud yang melilit khatulistiwa. Namun, di taman nirwana dunia timur ini, kelimpahan mata air kehidupan mudah berubah menjadi air mata. Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi; tetapi nasib rakyatnya tetap sama, kekal menderita.
Mimpi indah kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur lekas menjelma menjadi mimpi buruk: tertindas, terpecah belah, terjajah, timpang, miskin.
Boleh dikatakan, pemerintahan negara gagal menunaikan kewajibannya untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Neraka di tanah surga
Pada basis material, perwujudan masyarakat adil dan makmur tercegat oleh merajalelanya keserakahan kapitalisme predatoris. Usaha bersama berlandaskan semangat tolong-menolong (koperasi) tertikam oleh usaha perseorangan yang saling mematikan. Kemakmuran masyarakat disisihkan oleh kemakmuran orang seorang. Kesenjangan sosial melebar, menjauh dari cita-cita keadilan sosial.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang mestinya dikuasai oleh negara, jatuh ke tangan penguasaan orang seorang dan modal asing, menjadikan rakyat banyak sebagai tindasan segelintir orang kuat.
Begitu pun bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok kemakmuran rakyat, yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, semakin dikuasai oleh orang seorang bagi sebesar-besar kemakmuran segolongan kecil dan orang asing. Perampasan dan perusakan sumber daya alam oleh pemodal kuat terjadi secara sistematis, masif, dan terstruktur, menyisakan malapetaka ekologis, ketidakadilan, dan keterancaman kesinambungan pembangunan.
Pada langit mental, semangat ketuhanan yang mestinya menjadi bantalan etis, etos, dan welas asih terdangkalkan oleh formalisme dan egoisme keagamaan. Kemanusiaan yang mestinya mengarah pada kederajatan dan persaudaraan manusia terlumpuhkan oleh individualisme, konsumerisme dan hedonisme, keserakahan menimbun, serta cinta status dan kekuasaan.
Keragaman yang mestinya memberi wahana saling mengenal, saling belajar, saling menyempurnakan untuk menguatkan persatuan justru menjadi wahana saling menyangkal, saling mengucilkan, dan saling meniadakan yang mengarah pada kelumpuhan dan kehancuran bersama.
Pada ranah politik—sebagai agen perantara dalam perubahan sistem sosial—konsentrasi kekuatan nasional bagi transformasi ranah material dan mental menuju perwujudan masyarakat pancasilais yang berkekeluargaan dan berkeadilan tercabik oleh pengadopsian model demokrasi yang tidak selaras dengan dasar falsafah dan kepribadian bangsa.
Perwujudan demokrasi permusyawaratan sebagai wahana penguatan negara persatuan (yang mengatasi paham perseorangan dan golongan) dan negara kesejahteraan (yang berorientasi keadilan sosial) tercegat oleh hambatan-hambatan kultural, institusional, dan struktural.
Pada tingkat kultural, politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras—prosedur demokrasinya—terlihat relatif lebih demokratis; tetapi perangkat lunak—budaya demokrasinya—masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritokrasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja); perluasan partisipasi politik beriringan dengan perluasan partisipasi korupsi.
Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada kekuatan alokatif (sumber dana) ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia). Demokrasi padat modal melambungkan biaya kekuasaan, mengakibatkan perekonomian biaya tinggi (high cost economy), dan merebakkan korupsi.
Demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketakberdayaan rakyat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.