Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi ”liberal” tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi.
Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Situasi ini kian memburuk dengan menguatnya penetrasi neoliberalisme yang memperkuat individualisme dan memaksakan relasi pasar dalam segala bidang kehidupan. Kekuatan demokrasi perwakilan menjadi lumpuh ketika kepentingan minoritas pemodal lebih aktif dan ampuh mengendalikan politik daripada institusi-institusi publik.
Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).
Dengan demikian, yang kita dapati di seberang jembatan emas kemerdekaan adalah jalan bercabang dua. Jalan yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan; sama dapat, sama bahagia; sedangkan jalan yang satu lagi adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurangan; sama ratap, sama sengsara.
Semangat persaudaraan kebangsaan sejati hancur. Warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya pudar karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Semuanya berujung pada kegelapan dan kebiadaban: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Keadaan demikian akan mengantarkan negara ini ke tubir jurang perpecahan dan kebinasaan. Pilihannya, apakah kita biarkan Indonesia hancur atau bangkit bertempur.
Pengalaman ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas disesali dan dimusuhi. Namun, manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.
Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics).
Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya menjebol, melainkan juga membangun, memperbaiki keadaan negeri. Itulah tugas historis generasi pelanjut!
Apa yang harus dilakukan?
Akutnya krisis yang melanda bangsa ini mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar jawaban politik biasa (politics as usual) yang bersifat tambal sulam. Bobot krisis yang begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya ini hanya bisa dipecahkan melalui penjebolan dan penataan ulang secara mendasar sistem bernegara.
Semuanya ini memanggil para patriot bangsa untuk menghidupkan kembali api revolusi; mengarungi dinamika, romantika, dan logika revolusi; yang sejalan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri.
Keberhasilan revolusi nasional yang dipimpin oleh para pendiri bangsa dalam mencapai kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan dengan revolusi sosial untuk mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Revolusi nasional berhasil berkat usaha para pejuang bangsa untuk ”mempancasilakan revolusi”.
Artinya, revolusi kemerdekaan itu didarahi dengan semangat inklusif moral Pancasila melalui pengikatan komitmen bersama dari seluruh elemen revolusioner lintas etnis, agama, ideologi, dan kelas sosial.
Keberhasilan revolusi sosial tidak cukup dengan cara "mempancasilakan revolusi"; malah yang lebih mendesak adalah cara "merevolusikan Pancasila". Artinya, Pancasila tidak cukup sebagai alat persatuan, tetapi juga harus menjadi praksis-ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan mendasar pada ranah material dan mental sebagai katalis bagi perwujudan keadilan sosial.
Singkat kata, apa yang harus kita lakukan adalah mengobarkan Revolusi Pancasila!
Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan