Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Negeri Sulapan Anggaran Siluman Bertebaran

Kompas.com - 06/03/2015, 00:31 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

KOMPAS.com — Kemarin pagi, saya membaca puisi karya Jose Rizal Manua yang dipasang di dinding Facebook miliknya. Judulnya, "Di Negeri Sulapan". Begini bunyinya:

Di negeri gemah ripah
Dana siluman bertebaran
Dan
Di negeri gemah ripah
Orang miskin
Berserakan

Ada dua perkara yang diungkap Jose Rizal dalam puisinya. Bagian pertama adalah mengenai dana siluman yang sekarang sedang ngehits berkait saling tuding antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan sebagian anggota DPRD DKI Jakarta. Di bagian kedua, Jose Rizal jelas menyoroti kontradiksi antara negeri yang subur dan kemiskinan.

Pada bagian pertama, Jose tentu tersulut daya kreativitasnya oleh "pertengkaran" Ahok dan DPRD DKI. Seperti telah diberitakan oleh berbagai media, Ahok menuduh DPRD sudah "menyulap" angka Rancangan APBD (RAPBD) sehingga nilainya bertambah Rp 12 triliun lebih saat diajukan ke Mendagri.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI tak mau tinggal diam. Panitia hak angket DPRD DKI menyiapkan serangan balik dengan melaporkan Ahok ke KPK dan Bareskrim dengan tuduhan pernah mencoba menyuap anggota Dewan Rp 12,7 triliun.

Panitia hak angket mengaku telah menemukan bukti cukup kuat terkait tuduhannya itu. "Itu akan kita jadikan landasan hukum dan akan kita laporkan Pak Gubernur ke KPK dan Bareskrim," kata Ketua Panitia Hak Angket Ongen Sangaji di kantor DPRD DKI, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (2/3/2015).

Ahok dan anggota DPRD DKI Jakarta pun akhirnya "berbalas pantun". Sebanyak 106 anggota DPRD DKI secara bulat mendukung penuh pengajuan hak angket terhadap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dalam sidang paripurna pengajuan hak angket. Adapun alasan pengajuan hak angket terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2015. Basuki dianggap telah melakukan pelanggaran serius karena tidak mengirimkan Raperda APBD DKI 2015 yang menjadi usulan bersama anggota DPRD dan Pemprov DKI.

Sementara itu, Ahok juga melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran pada APBD DKI ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan itu diduga menyangkut anggota DPRD yang berupaya memasukkan anggaran siluman ke dalam APBD.

"Jadi, tadi kami datang membawa bukti-bukti perbedaan APBD yang saya ajukan dengan e-budgeting yang kami sepakati di paripurna dengan yang dibuat oleh kawan-kawan di DPRD. Di situ angka saja sudah selisih cukup banyak sampai Rp 12 triliun," kata Ahok seusai menyampaikan laporannya ke KPK pada 27 Februari 2015.

Ahok pun lantas membeberkan modus anggota legislatif "memainkan" anggaran. Menurut dia, salah satu cara yang paling sering digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah dengan mengancam satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk tidak membahas APBD.

"Dia selalu mengancam kita, 'Kamu masukin punya saya. Kalau tidak, tidak dibahas APBD-nya'," kata pria yang biasa disapa Ahok itu dalam video yang diunggah oleh Pemerintah Provinsi DKI, Senin (2/3/2015).

Puncak dari konflik itu terjadi saat mediasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta di kantor Kemendagri, Kamis (5/3/2015). Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tiba-tiba meninggalkan ruangan bersama jajaran pejabatnya.

Menurut penuturan salah seorang pejabat yang ikut dalam pertemuan, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Agus Suradika, kericuhan berawal saat Ahok melontarkan pertanyaan ke Wali Kota Jakarta Barat Anas Effendi seputar pengadaan perangkat penyedia daya listrik tanpa gangguan (uninterruptible power supply/UPS) pada 2014.

"Beliau (Ahok) tanya ke Pak Anas, 'Bener enggak pengadaan UPS sudah ada pembahasan'. Belum sempat dijawab, keadaan udah ricuh," kata Agus kepada Kompas.com.

Menurut Agus, suasana sangat ricuh. Saking ricuhnya, ia mengaku tak sempat mendengar celetukan-celetukan dari anggota DPRD.

Diduga, celetukan dari para anggota DPRD-lah yang membuat emosi Ahok terpancing dan mengajak anak buahnya meninggalkan ruang pertemuan.

"Saya tidak sempat dengar karena udah crowded banget. Habis itu kami keluar. Suasananya udah kayak di Gedung DPRD," ujar Agus.

Tentu, lantaran gajah dan gajah bertarung, pelanduk juga yang mati di tengah. Setidaknya, karena konflik itu, APBD DKI Jakarta belum bisa cair. Maka dari itu, masyarakat Kota Jakarta pun harus siap jika fasilitas umumnya acakadut karena anggaran yang sedianya untuk memperbaiki fasilitas umum belum selesai dibahas.
 
Lalu, apa sebenarnya dana siluman itu? "Anggaran siluman itu, anggaran yang diselipkan dalam APBD setelah selesainya pembahasan antara eksekutif dan legislatif," ujar Direktur CBA Centre For Budget Analysis, Uchok Sky Khadafi, kepada Kompas.com, Kamis.

"Kalau ada program dalam APBD, tetapi tidak dibahas dalam pembahasan legislatif dengan eksekutif, program ini namanya siluman," kata Uchok.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pun senang menyebutnya sebagai anggaran siluman.

Namun, terlepas dari itu, menurut Uchok, justru ada yang lebih mengerikan dari anggaran siluman, yaitu APBD siluman.

"Tetapi, yang berpotensi saat ini bukan lagi anggaran siluman, melainkan APBD siluman yang diberikan Ahok kepada Kemendagri, apalagi tanpa persetujuan dan pembahasan dari DPRD," ujarnya.

Siluman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti makhluk halus yang sering menampakkan diri sebagai manusia atau binatang atau sesuatu yang tersembunyi dan tidak kelihatan, juga bisa berarti biaya yang sulit dipertanggungjawabkan (seperti uang suap dan sebagainya).

Sesungguhnya, peristiwa Ahok versus DPRD DKI Jakarta hanyalah bagian dari persoalan dana siluman yang sudah mengurat dan mengakar di lembaga pemerintah.

Pribadi maupun perusahaan swasta yang kerap berhubungan dengan proyek-proyek pemerintah pasti hafal betul dengan permainan dana siluman. Pelajaran pertama yang harus dihafal dan dikerjakan oleh pembuat proposal adalah menaikkan angka hingga 100 persen agar angka sesungguhnya tidak tekor setelah nanti dipotong separuh oleh orang dalam (pejabat pemerintah).

Serombongan anak muda yang memenangi lomba desain dan diajak melawat ke luar negeri menceritakan pengalamannya kepada saya betapa mereka harus menandatangani blangko anggaran kosong sebelum menerima uang saku saat sudah berada di negara tujuan.

Bagai hantu, dana-dana siluman bisa menyelusup ke semua lini dan bidang, mulai dari pucuk pimpinan hingga bawahan. Jika di tingkat pimpinan mereka bermain melalui angka-angka anggaran, di level bawahan, biasanya mereka bermain angka di kuitansi hotel, sewa mobil, dan pembelian barang.

Maka dari itu, janganlah heran jika bepergian bersama rombongan pegawai dari kementerian untuk sebuah acara atau proyek tertentu, oleh-oleh yang mereka beli kadang melebihi kapasitas koper yang mereka bawa dari rumah.

Tradisi anggaran dan uang siluman yang sudah menahun ini sebetulnya diketahui oleh pucuk-pucuk pimpinan dalam sebuah kementerian atau lembaga negara lainnya. Bahkan, kabarnya, para bawahan yang berbakti kepada atasan selalu menyiapkan upeti buat para "big boss".

***
Kembali ke puisi Jose Rizal pada bagian terakhir. Jose bercerita tentang situasi kontradiktif yang dialami bangsa ini. Bangsa yang hidup di negeri yang gemah ripah tetapi kemiskinan justru kian menjadi. Situasi kontras itu sama persis dengan dua lagu yang didendangkan Koes Plus dan Rhoma Irama. Koes Plus menyanyikan "Kolam Susu" yang bercerita tentang kesuburan dan keindahan negeri ini, sementara Rhoma Irama mendendangkan lagu getir "Yang Kaya Makin Kaya".

Seperti apa Rhoma menggambarkan situasi republik ini, simaklah syair "Si Raja Dangdut" di bawah ini.

Hijau merimbuni daratannya
Biru lautan di sekelilingnya
Itulah negeri Indonesia
Negeri yang subur serta kaya raya

Seluruh harta kekayaan negara
Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya
Namun hatiku selalu bertanya-tanya
Mengapa kehidupan tidak merata

Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin
Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin

Negara bukan milik golongan
Dan juga bukan milik perorangan
Dari itu jangan seenaknya
Memperkaya diri membabi buta

Seluruh harta kekayaan negara
Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya
Namun hatiku selalu bertanya-tanya
Mengapa kehidupan tidak merata

Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin
Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com