JAKARTA, KOMPAS.com — Muhammadiyah meminta pihak swasta untuk berhenti mengelola air di Indonesia dan menjualnya menjadi air minum dalam kemasan. Hal itu disampaikan menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
"Kami meminta agar semua kontrak dengan perusahaan, baik domestik maupun asing, yang menguasai sumber daya air nasional kita dan merugikan rakyat, dengan sendirinya dibatalkan karena dasar hukumnya dibatalkan oleh MK," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (23/2/2015).
Din menilai, seharusnya air ataupun sumber daya alam lainnya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
"Harusnya dikelola BUMN. Kalau tidak bisa, BUMD. Kalau tidak bisa, koperasi. Kalau tidak, baru bekerja sama dengan swasta," ucap Din.
Ketua Majelis Ulama Indonesia ini mengaku bersyukur bahwa MK akhirnya membatalkan pasal yang, menurut dia, merampas hak rakyat. Dia berharap, DPR dan pemerintah segera menyikapi putusan MK itu.
"Kami mendesak kepada DPR dan pemerintah untuk segera membahas, mengajukan, dan membentuk UU baru tentang sumber daya air yang sesuai dengan konstitusi," ujar dia.
MK menilai bahwa UU tentang sumber daya alam tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Perkara ini diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan.
Mahkamah berpendapat bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.