Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiblat Hukum Kita

Kompas.com - 12/02/2015, 15:00 WIB


Oleh: Mochtar Pabottingi

JAKARTA, KOMPAS - Kapan pun dan di negara mana pun kondisi penyelenggaraan hukum berada pada tingkat ideal manakala ia dipandu oleh atau sejalan dengan arah dan dialektika politik juga pada tingkat idealnya.

Harus diakui bahwa ada perkiblatan prinsipiil-universal dari hukum pada politik, terutama pada konstitusi. Konstitusi tak lain dari himpunan prinsip politik menyangkut sumber, tujuan, kegunaan, dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi merupakan hasil deliberasi atas keputusan makropolitik para pemimpin suatu bangsa untuk mendirikan negara. Elan vital tiap konstitusi demokratis dalam negara-bangsa adalah politik pada esensi dan jabaran agenda makropolitiknya yang tercerahkan. Lantaran esensi dan jabaran demikian itulah, ia dijadikan induk hukum.

Politik berada pada tingkat ideal manakala ia menggalang kehidupan bersama untuk mencapai kemajuan bersama dalam hal kesejahteraan, harkat, dan keadilan di dalam kolektivitas politik. Dengan ideal dan dalam napas ini pulalah hukum mesti ditempatkan. Titik kolektivitas politik maupun kolektivitas hukum ideal tercapai dalam simbiosis bangsa (nasion) dan demokrasi. Bangsa dan demokrasi bisa dirumuskan sebagai kolektivitas dan sistem politik yang bersifat egaliter-otosentris.

Sifat otosentris mengacu pada keadaan ketika segenap warga negara saling menopang dan saling memuliakan sebagai suatu himpunan dalam prinsip kesetaraan bernegara-bangsa yang non-diskriminatif. Kata "otosentris" (autocentric) di sini berarti pemihakan dan pemuliaan bagi himpunan bangsa sendiri di dalam prinsip- prinsip kebajikan politik universal di tengah koeksistensi kompetitif lintas bangsa, yang hingga kini masih ditandai oleh banyak ketidakadilan sistemik yang berakar dalam.

Konstitusi, agenda makropolitik

Sejak Ethica Nicomachea, Magna Carta, hingga Declaration of Independence—dan bagi kita sejak Pancasila dan/atau Mukadimah UUD 1945 (termasuk mutiara-mutiara kearifan dari khazanah lintas suku pada bangsa kita)—hukum dan politik tak pernah bisa dan memang tak semestinya dipisahkan. (Pancasila tentu harus dipahami bukan sebagai semata seperangkat ideal muluk, melainkan sebagai hasil kristalisasi dan sublimasi politik yang jujur tulus dari para Bapak Bangsa kita vis-à-vis berabad perjuangan protonasion dan terutama Pergerakan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan di Tanah Air.) Konstitusi seperti dalam pemahaman Aristoteles tiada hentinya menegaskan ketakterpisahan antara hukum dan politik itu. Begitulah maka dia menyimpulkan dalam Ethica Nicomachea bahwa "hukum adalah 'hasil kerja' politik".

Bukti bahwa konstitusi adalah suatu agenda makropolitik terbaca jelas misalnya dari kalimat pembuka Konstitusi Amerika: "Kami rakyat Negara-Negara Serikat, demi membangun suatu kesatuan yang lebih sempurna (a more perfect Union) ... dengan ini memaklumkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat". Ini juga tampak jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Negara kita didirikan untuk membentuk suatu pemerintahan "yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ... dan keadilan sosial".

Pada tahun 2002, saat amandemen konstitusi masih berlangsung riuh, saya menekankan niscayanya penegasan bahwa pada tiap negara demokrasi, hukum merupakan bagian inheren di dalam rasionalitas politik demokrasi, bukan sebaliknya. Rasionalitas politik itulah yang meniscayakan adanya Konstitusi dan kemudian Mahkamah Konstitusi. Hukum tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari rasionalitas politik demokrasi.

Bisa dikatakan bahwa konstitusi adalah momen ketika rasionalitas politik dijadikan hukum tertinggi. Ia dijadikan hukum tertinggi bukan demi hukum per se, melainkan demi dan dalam rangka rasionalitas politik dengan agenda makropolitik itu. Inilah yang dimaksud oleh Giovanni Sartori ketika menulis bahwa "the formal definition of law presupposes the constitutional state" (Pabottingi, "Memburuknya Krisis Konstitusi Kita", 2002). Dalam istilah "negara hukum", kata "hukum" adalah penyifat dari kata "negara", bukan sebaliknya. Di mana pun dan kapan pun, tiap negara-bangsa haruslah dibaca dan ditempatkan dari waktu ke waktu menurut evolusi, dialektika, dan ideal-ideal sejarahnya masing-masing.

Singkatnya, negara hukum kita akan menjadi bangkrut atau mengerdil jika ia tidak dipandu oleh politik dalam paradigma nasion/demokrasi dan menurut persenyawaannya dengan ideal-ideal Pancasila.

Dalam kerangka pemahaman inilah, kita harus menghadapi kemelut politik yang timbul sekitar sebulan terakhir menyangkut kontroversi kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) dan/atau perseteruan antara KPK dan Polri bersama Plt Sekjen PDI-P (selanjutnya disebut Polri Plus). Kemelut politik ini bersumber pada kontroversi hukum yang membesar dan melar nyaris tak terkendali bukan terutama karena posisi-posisi hukum yang di dalamnya bertentangan secara diametral, melainkan karena lenyapnya kesadaran mengenai keniscayaan perindukan hukum pada politik (baca: konstitusi) atau pada arah, evolusi, dan dialektika politik kita.

Argumen-argumen konstitusional memang ramai juga dilontarkan, tetapi itu banyak dilakukan secara kerdil dengan tekanan hanya pada sisi prosedural-legalitasnya, bukan pada sisi tujuan-tujuan substantifnya—apalagi pada kegentingan status atau kondisi dialektis mutakhir bangsa kita (the current state of our nation).

Untuk menyikapi kontroversi KPK dan Polri Plus secara arif dan adil, kita pertama sekali harus melihat letak permasalahan dalam konteks arah dan dialektika negara- bangsa kita, khususnya dalam pergulatannya yang sungguh berat melawan wabah korupsi yang kian lama kian parah dan yang secara langsung kian mengancam sendi-sendi kenegaraan dan pemerintahan kita.

Kemelut politik ini tak bisa direduksi sebagai masalah-masalah pribadi atau hak-hak konstitusional individu. Dari rezim ke rezim, terutama di bawah Orde Baru dan pada tahun-tahun pertama Reformasi (terlepas dari kekuatan tekad dan ketetapan-ketetapan politiknya untuk memberantas KKN), negara-bangsa kita telah kalah melawan wabah korupsi itu yang kian lama kian menjadi monster.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Pabrik Bata Tutup, Jokowi: Usaha Itu Naik Turun, karena Efisiensi atau Kalah Saing

Nasional
KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

KPU Ungkap Formulir C.Hasil Pileg 2024 Paniai Dibawa Lari KPPS

Nasional
Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com