Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Serentak 2015 Tak Realistis

Kompas.com - 06/02/2015, 15:03 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara serentak pada 2015, seperti yang diusulkan pemerintah, dinilai tidak realistis. Alasannya, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu saja lebih memilih pilkada dilaksanakan tahun depan. Jika pilkada tetap dipaksakan tahun ini, dikhawatirkan terjadi masalah.

Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Lukman Edy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/2), mengatakan, terlalu terburu-buru jika pilkada serentak digelar 2015. "Kami sudah mendengarkan presentasi KPU dan Bawaslu. Mereka siap melaksanakan pilkada di 205 daerah pada akhir 2015. Tetapi, akan lebih siap lagi jika pilkada digelar 2016," katanya.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menjelaskan, Komisi II menginginkan penyelenggara pilkada lebih siap menggelar pilkada. Sebab, kesiapan tersebut terkait dengan kualitas pilkada. "Semakin siap penyelenggara, diyakini akan semakin baik kualitas pilkada," ucap Lukman.

Menurut dia, jika pilkada serentak tetap 2015, besar kemungkinan pilkada tahap kedua digelar pada 2018, seperti diatur Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada serentak nasional digelar 2020.

Lukman mengatakan, Komisi II sudah melakukan simulasi. Jika pilkada serentak sesuai dengan UU Pilkada, yakni pada 2015, 2018, dan 2020, akan banyak daerah dipimpin penjabat kepala daerah. Bahkan, selain masa tugas penjabat kepala daerah bisa lebih dari dua tahun, ratusan kepala daerah juga akan terpotong masa jabatannya. "Oleh karena itu, Komisi II sepakat pilkada serentak dimulai 2016," kata Lukman.

Komisioner KPU, Hadar N Gumay, yang ditemui seusai diskusi mengatakan, permintaan pemerintah agar pilkada serentak digelar September 2015 tidak memungkinkan. "Tahapan pilkada itu harus sesuai dengan UU yang akan berubah. Setelah revisi UU selesai, kita baru konsultasi ke DPR dan pemerintah. Apakah ketika revisi UU selesai mereka bersedia kalau kita mulai pilkada?" tanya Hadar menyinggung prosesnya yang tak memungkinkan.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto mengatakan, pihaknya menduga Presiden Joko Widodo tidak mendapatkan informasi memadai tentang tahapan pilkada.

Pemerintah ingin konsisten

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto serta Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, pilihan September 2015 karena pemerintah ingin konsisten. "Jika menunda jadwal akan merepotkan pemerintah daerah yang sudah mempersiapkan pilkada," kata mereka. (NTA/APA/AMR/ZAL/SIR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

Nasional
Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Nasional
DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

Nasional
Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Nasional
Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Nasional
Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Nasional
LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus 'Justice Collaborator'

LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus "Justice Collaborator"

Nasional
Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Nasional
Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Nasional
Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Nasional
Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Nasional
Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nasional
TNI AL Sebut Sumsel dan Jambi Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster Keluar Negeri

TNI AL Sebut Sumsel dan Jambi Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster Keluar Negeri

Nasional
Ketua KPK Mengaku Tak Tahu-menahu Masalah Etik Nurul Ghufron dengan Pihak Kementan

Ketua KPK Mengaku Tak Tahu-menahu Masalah Etik Nurul Ghufron dengan Pihak Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com