Oleh: Amzulian Rifai
JAKARTA, KOMPAS - Tidak pernah terbayangkan pimpinan lembaga hukum seperti Kepala Negara Polri dan komisioner KPK berstatus tersangka.
Ada banyak perdebatan politik dan yuridis soal ini. Namun, yang pasti ada keharusan untuk mendapatkan solusi agar keadaan saling mengunci seperti saat ini tidak terulang lagi. Oleh karena itu, sepatutnya dipertimbangkan pemberian imunitas terbatas bagi pimpinan lembaga hukum pada masa yang akan datang.
Salah satu problematika terbesar suatu negara dalam upaya memajukan berbagai aspek kehidupan warganya adalah akibat hukum tak bekerja secara baik. Padahal, hukum itu eksis dalam berbagai aktivitas bernegara. Jika dilakukan perbandingan antarnegara, ada kecenderungan korelasi antara bekerjanya hukum dengan ketertiban dan kemakmuran di negara itu. Sebaliknya, ketidakhadiran hukum juga menampilkan ketidakstabilan serta ketidakpastian, yang pada gilirannya juga sulit menghadirkan suatu kesejahteraan.
Indonesia juga masih bermasalah dengan berbagai aspek hukumnya, baik dari sisi substansi hukum, kelembagaan hukum, ataupun kultur hukum. Produk-produk hukum kita—terutama untuk tingkat peraturan daerah—terkadang rentan hasil copy paste, bukan dilahirkan dari proses kajian mendalam dan membumi. Indikasi ke arah itu antara lain cepat sekali ketidakmampuan produk hukum itu beradaptasi dengan perubahan.
Tak juga mudah apabila kita berharap lembaga-lembaga hukum Indonesia hadir secara profesional dan mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari publik. Publik terkadang menyaksikan hubungan yang tidak harmonis antarlembaga hukum. Justru tantangan utama lembaga hukum Indonesia adalah rendahnya kepercayaan publik. Kondisi ini menjadikan penegak hukum serba salah dengan hasil kerjanya.
Indonesia juga menghadapi tantangan lemahnya kultur hukum. Kultur hukum itu harus dimiliki baik oleh penegak hukum maupun oleh masyarakat. Tidak ada jaminan seseorang berprofesi di bidang hukum dengan sendirinya memiliki kultur hukum yang baik. Malah terkadang justru ada di antara aparat hukum yang malah memosisikan dirinya sebagai orang yang boleh melanggar hukum.
Makna imunitas terbatas
Dapat dimaklumi apabila sebagian kita alergi menggunakan istilah imunitas (hukum) karena hal ini dapat berarti adanya pengistimewaan terhadap orang per orang. Ini adalah pelanggaran terhadap konstitusi. UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 menegaskan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Namun, mestinya pasal ini tak pula ditafsirkan dan diterapkan secara sempit, apa adanya. Pasal ini untuk memberikan jaminan bahwa setiap warga negara tidak mengalami diskriminasi hukum dalam kesehariannya. Namun, tidak dapat dikatakan menentang konstitusi apabila inequality itu dimaksudkan justru dalam rangka penegakan hukum dan bertujuan melindungi warga negara (publik) secara luas.
Imunitas dapat diartikan "Exemption from certain generally applicable requirements of law or from certain liabilities, granted to special groups of people to facilitate the performance of their public functions." Ada satu catatan penting dari definisi ini. Bahwa, pengecualian pemberlakuan hukum itu hanya pada sekelompok orang saja dalam rangka mereka menjalankan fungsi publik (kepentingan umum).
Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan soal imunitas ini. Pertama, imunitas ini diberikan hanya dalam waktu terbatas: pada saat seseorang sedang memegang jabatan sebagai pimpinan tertinggi hukum. Keterbatasan itu juga berarti tidak berlaku apabila yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan dalam hal tertangkap tangan sudah jelas buktinya dan memang patut dijadikan tersangka. Karena itu, makna imunitas terbatas dapat dirumuskan bahwa seorang pimpinan tertinggi lembaga hukum tidak dapat diproses atau ditunda proses hukumnya selama sedang menduduki jabatannya.
Mungkin ada lima jabatan pimpinan lembaga hukum yang dapat dipertimbangkan memperoleh imunitas terbatas. Kelima pimpinan itu adalah ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan komisioner KPK. Terbuka ruang debat soal siapa saja yang layak memperoleh imunitas terbatas tersebut.
Mengapa imunitas terbatas
Ada beberapa alasan mengapa diperlukan pemberian status imunitas terbatas kepada lima pimpinan lembaga hukum di atas. Pertama, agar tidak terjadi seorang pimpinan tertinggi lembaga hukum justru bermasalah hukum. Tidak pernah terbayangkan seorang Kepala Polri dan komisioner KPK berstatus tersangka. Sulit mencari referensi di negara lain, kepala kepolisian negara yang berstatus tersangka.