Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/02/2015, 06:53 WIB

Oleh Budiarto Shambazy

SEWAKTU  kampanye Pilpres 2014, Joko Widodo acap kali menyebut beberapa kata kunci tentang kabinet yang akan dibentuk jika terpilih sebagai presiden. Tiga kata kunci yang diucapkan adalah ”kerja”, ”ramping”, dan ”profesional”.

Kabinet ”kerja”, yang akhirnya menjadi nama resmi kabinet, merujuk pada kabinet yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dengan Djoeanda Kartawidjaja sebagai menteri pertama. Kabinet Kerja yang dibentuk Juli 1959 itu tak menyertakan seorang politisi pun.

Kabinet ”ramping” terbukti cuma sekadar janji kampanye Jokowi yang belum ditepati. Begitu juga kabinet ”profesional” hanya ilusi belaka sekalipun ada sejumlah menteri yang boleh dianggap ahli di bidang-bidang tertentu.

Politisi di negara mana pun pasti menebar ”angin surga” saat kampanye. Namun, sering terbukti bahwa memenuhi janji kampanye tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Sewaktu kampanye kita membayangkan kabinet Jokowi pasti mau bekerja, mungkin jumlahnya 20-an saja, para menterinya dari kalangan profesional, dan kalau bisa politisi segelintir saja. Namun, kita saat itu juga sadar bahwa politik bukanlah hitungan matematika 2+2=4.

Kita sudah malas berdebat tentang seberapa ideal Kabinet Kerja dan jarum jam mustahil ditarik mundur. Mungkin sebaiknya kita bersandar pada prinsip bahwa menteri adalah sebuah jabatan politis yang orangnya dipilih bukan berdasarkan pada hak prerogatif presiden semata.

Tuntutan publik dan kebutuhan politik untuk membentuk kabinet yang lebih baik tentu ada. Sebab, kabinet pemerintahan sebelumnya amburadul, khususnya karena sejumlah kementerian dijadikan sapi perah pendanaan partai.

Jika ada pertanyaan apakah Jokowi benar-benar menggunakan hak prerogatif 100 persen dalam menentukan menteri-menterinya, jawabannya tidak.

Hak prerogatif dia tergerus karena dia harus menjalani kompromi politik yang pelik dan bertele-tele dengan tokoh-tokoh partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dengan kata lain, Jokowi sampai kini masih menghadapi konflik memperjuangkan hak prerogatif yang dikombinasikan dengan ”kompromi politik”.

Apakah ini akan mengganggu slogan ”kerja, kerja, kerja”? Rasanya tidak juga. Sebab, harus diakui bahwa dalam kurun waktu sekitar tiga bulan ini Kabinet Kerja telah menunjukkan sejumlah prestasi meski belum sesuai dengan harapan rakyat.

Seperti pernah saya tulis di rubrik ini, Kabinet Kerja, ibarat rapor, layak mendapat nilai tujuh. Jika bekerja konsisten dengan merujuk pada program Nawa Cita-Trisakti, nilai tersebut kelak akan naik ke angka delapan.

Prestasi yang setidaknya kita rasakan saat ini antara lain kepedulian pemerintah pada kedaulatan fisik kita yang telah lama tergerus, baik di darat, perairan, maupun udara. Pemerintah juga sedang berupaya menegakkan hukum dengan menolak grasi sekaligus mengeksekusi para bandar narkoba yang dihukum mati.

Dan, setidaknya kita kini menyadari betapa besar dan banyaknya masalah yang diwariskan rezim sebelumnya. Sungguh pekerjaan tidak mengenakkan ketika Anda harus mencuci piring dan gelas serta menyapu dan mengepel setelah pesta berakhir.

Ini awal baik yang layak dilanjutkan Kabinet Kerja dengan harapan dukungan rakyat tidak anjlok. Masa bulan madu telah berakhir dan Kabinet Kerja hendaknya tetap berani bekerja menghadapi berbagai tantangan di depan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com