Kamis (25/12/2014) malam, satu dekade setelah bencana itu. Dari jendela pesawat yang perlahan turun, Kota Banda Aceh terlihat gemerlap. Kerlip cahaya juga terlihat sepanjang garis pantai, memberikan sinyal kehidupan baru telah bersemi.
Rumah kembali memadati kota pesisir ini, melebihi sebelum 2004. Bangunannya lebih megah. Jalanan pun lebih mulus.
Masih terbayang betapa kota ini pernah sedemikian sunyi. Saat itu seminggu setelah tsunami, di jalan menuju pinggir pantai Kajhu, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Tak ada suara manusia ataupun binatang. Hanya debur ombak yang pelan memukul pantai dan desau angin yang sayup.
Puing-puing bekas bangunan dan ranting patah yang berserak tertutup pasir lembut. Air laut seperti telah mencuci bersih daratan lalu membawa pergi semua penghuninya.
Hingga sebelum tsunami datang menggulung, di kawasan inilah Nadjmuddin Oemar dan keluarga tinggal. Suatu waktu pada pertengahan November 2004, sebelum laut berkhianat, Nadjmuddin mengajak menyusuri jalanan di kampungnya.
Pantai itu sesak dengan kehidupan. Rumah berimpitan, persis dengan kondisi saat ini. Anak-anak bermain di pantai, di antara laju perahu nelayan. ”Aceh harus damai, entah kapan,” katanya saat itu.
Nadjmuddin melewati ketegangan dan bahaya meliput konflik Aceh dengan senyum ramahnya yang khas sekalipun namanya masuk dalam laporan Reporters Without Borders (2002) sebagai salah satu wartawan di dunia yang mendapat tekanan dari aparat keamanan. Tetapi, nasibnya digariskan berakhir oleh amuk laut.
Dia tak pernah menduga, di kedalaman Samudra Hindia, sebuah daya telah dikumpulkan dalam bilangan abad demi abad. Dua lempeng, Indo-Australia dan Eurasia, terus bergerak. Saling tekan, hunjam, dan mengunci. Hingga tiba-tiba bebatuan itu patah, satu menit menjelang pukul 08.00, Minggu, 26 Desember 2004.
Gempa dahsyat tercipta. Salah satu yang terkuat yang tercatat dalam hikayat. Guncangan itu mengocok miliaran ton air laut dalam, memunculkan gelombang raksasa dan melumatkan daratan Aceh setengah jam kemudian. Tsunami!
Nadjmuddin tak pernah ditemukan lagi sejak itu. Dua puluh enam wartawan Aceh lain hilang atau meninggal akibat tsunami. Nyaris tidak ada orang Aceh yang tak kehilangan saudara atau sahabat.
Namun, bagi Aceh, tsunami bukan hanya kematian. Hanya delapan bulan setelah bencana itu, perang pun berakhir. Itulah kuasa lain bencana alam dalam mengubah laju peradaban.
Satu dekade setelah tsunami, ingatan tentang tsunami mulai kabur. Barangkali Milan Kundera benar saat mengatakan, ”...pembantaian massal di Banglades dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap invasi Rusia ke Cekoslowakia, pembunuhan di Allende menggantikan tragedi Banglades, perang di Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian di Kamboja membuat orang lupa pada Sinai, begitu seterusnya, hingga segala sesuatunya dilupakan.”
Namun, tsunami Aceh tak boleh dilupakan. Lebih penting lagi, tragedi itu mesti membuat kita terus belajar jadi bangsa lebih kuat dan senantiasa bersiaga karena, hanya soal waktu, laut akan kembali datang menyerbu daratan di negeri ini.
Catatan:
Tulisan ini sebelumnya telah tayang di Harian Kompas edisi Jumat (26/12/2014), dengan judul Ziarah ke Aceh, Mengenang Sahabat