Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Konsistensi di Jalur Anti Korupsi

Kompas.com - 18/12/2014, 14:00 WIB

Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, laporan hasil analisis (LHA) lembaganya terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan itu telah disampaikan ke institusi penegak hukum untuk diselidiki.

PPATK, kata Yusuf, juga menyampaikan LHA tersebut ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Langkah itu diambil dengan tujuan jika tidak ditemukan kasus pidana di dalamnya, setidaknya uang gelap tersebut dapat ditarik pajaknya.

"Dari LHA yang kami kirim, Ditjen Pajak akhirnya bisa mendapatkan tambahan pajak sebesar Rp 2,6 triliun," kata Yusuf.

Tetap tinggi

Sejumlah usaha telah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejumlah upaya pencegahan juga telah dilakukan, seperti menyosialisasikan gerakan anti korupsi. Pengadilan tindak pidana korupsi juga terus menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa korupsi yang terbukti melakukan korupsi.

Berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi yang diproses hukum meningkat dari 402 kasus pada tahun 2012 menjadi 560 kasus pada tahun 2013. Penyidikan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga meningkat dari 48 kasus pada tahun 2012 menjadi 70 kasus pada tahun 2013.

Sementara itu, jumlah gratifikasi, denda, dan uang sitaan hasil korupsi yang kembali ke negara pada tahun 2013 sebesar Rp 557,4 miliar. Jumlah itu tentu tidak sebanding dengan uang yang dikorupsi yang diduga mencapai ratusan triliun rupiah.

Data KPK juga menunjukkan, korupsi banyak dilakukan oleh pejabat eselon I, II, dan III; swasta; serta anggota DPR/DPRD.

Koordinator ICW Ade Irawan mengatakan, episentrum korupsi di Indonesia adalah korupsi politik yang dilakukan oligarki kekuasaan.

Untuk mendapatkan kekuasaan baik di pusat maupun daerah, politisi dan partai politik melakukan segala cara termasuk korupsi. Setelah berkuasa, mereka memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang, serta menerima gratifikasi dan suap.

Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, menambahkan, maraknya korupsi juga dipicu oleh vonis pengadilan yang belum memberikan efek jera. Sekitar 74 persen putusan korupsi tergolong sebagai putusan ringan dengan masa hukuman penjara 1-4 tahun.

Di samping itu, dari ratusan kasus korupsi, hanya puluhan yang dikenakan pasal pencucian uang. Hingga kini tercatat hanya 31 koruptor yang dikenakan pidana pencucian uang.

Padahal, pemidanaan menggunakan pasal-pasal di UU Tindak Pidana Pencucian Uang bisa menimbulkan efek jera karena harta kekayaan koruptor yang diduga berasal dari korupsi bisa dirampas. Dengan demikian, koruptor tak hanya dihukum penjara, tetapi juga dimiskinkan. Selain itu, pihak-pihak yang menerima uang hasil korupsi juga bisa dipidana.

Di tengah berbagai tantangan yang terus muncul, sebenarnya tidak ada yang sia-sia dalam pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini. Kenaikan skor indeks persepsi korupsi dari 32 menjadi 34 pada tahun 2014 menunjukkan pemberantasan korupsi di Indonesia mulai menunjukkan hasil meski masih jauh dari target yang ditetapkan.

Guna makin mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia, kini yang paling dibutuhkan adalah tetap konsisten di jalur anti korupsi meski jalan yang dilalui tidak mudah.

Masalahnya, konsistensi menjadi hal yang sering kali tidak mudah dilakukan di Indonesia. Namun, semoga itu tak terjadi dalam pemberantasan korupsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com