Dari sisi permintaan, langkah strategis itu belum tentu disambut oleh warga dan komunitas perairan (petani ikan, nelayan, organisasi petani dan nelayan, LSM, dan lain-lain). Permintaan publik terhadap data dan informasi tata kelola kelautan dan perikanan masih tipis dan lemah. Ini berbeda dengan warga dan komunitas daratan (perkotaan, kehutanan) yang permintaan publiknya sudah relatif terbentuk dan cukup kuat. Lemahnya aspek permintaan publik ini bisa membuat UU Keterbukaan Informasi Publik kurang efektif.
Artikulasi dan aksentuasi keterbukaan informasi yang diajukan Susi juga bisa beresonansi pada makin pentingnya penguatan dan pendalaman peran Indonesia dalam OGP. OGP yang didirikan pada 2011 merupakan wadah kerja sama internasional yang anggotanya adalah pemerintah yang mempromosikan keterbukaan, akuntabilitas, dan daya tanggap yang cepat kepada warganya. Indonesia termasuk delapan negara deklarator inisiatif kemitraan ini. Sekarang anggota OGP sudah 65 negara. Praksis keterbukaan informasi yang dikembangkan Indonesia, khususnya yang akan dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi negara lain.
Di atas semua implikasi itu, yang paling substansial adalah pesan politik yang ingin disampaikan, yakni bahwa rezim sekretif harus segera diakhiri. Sudah saatnya kita membangun tatanan kelola sumber daya publik, proses kebijakan, proses legislasi, dan proses yudisial dengan informasi yang lebih simetris. Itu hanya mungkin dicapai kalau kita bisa melakukan dua hal ini secara serius dan sistematis.
Pertama, memperkuat permintaan publik sehingga warga dan organisasi masyarakat sipil tidak hanya bisa meminta data dan informasi, tetapi juga—yang lebih penting dan strategis—adalah terampil meminta perlunya kerangka kelembagaan (peraturan dan organisasi) keterbukaan informasi publik yang lebih baik. Secara kelembagaan, UU Keterbukaan Informasi Publik dan peraturan lain yang terkait dengan itu perlu ditinjau ulang dan direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Secara organisasi, Komisi Informasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi perlu memperbaiki tata kelola dan kinerjanya.
Kedua, penguatan dan pendalaman keterlibatan konstruktif warga dalam tata kelola sumber daya publik, proses kebijakan, proses legislasi, dan proses yudisial. Penguatan dan pendalaman keterlibatan warga ini bukan diabdikan untuk kelancaran dan kesuksesan satu periode jabatan menteri atau pemerintahan, melainkan untuk kesinambungan yang melampau batas-batas
usia rezim pemerintahan. Dunia yang lain, dengan informasi yang lebih simetris, tampaknya sangat mungkin.
Dedi Haryadi
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia