Namun, pepatah ini tampaknya tak menahan laju kubu pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa untuk mempersoalkan hasil Pemilu Presiden 2014. Gelagatnya, langkah kubu Prabowo-Hatta tak akan segera berkesudahan sekalipun Mahkamah Konstitusi telah menolak seluruh gugatan mereka terkait sengketa hasil Pemilu Presiden 2014.
"Langkah hukum lain yang masih berjalan sekarang akan tetap kami kawal, demikian pula langkah politik," ujar Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Tantowi Yahya, Kamis malam, dalam konferensi pers setelah pembacaan putusan MK.
Pertanyaan yang muncul, masihkah ada gunanya langkah hukum dan politik yang ditempuh kubu Prabowo-Hatta ini? Masihkah ada proses hukum yang bisa mengubah hasil pemilu setelah putusan MK? Apakah rakyat masih butuh semua hiruk pikuk hukum dan politik tersebut?
Terlebih lagi, bila tujuan Prabowo-Hatta mengikuti perhelatan demokrasi ini bukan semata kekuasaan dan bentuk bakti bagi negeri, apakah pepatah becik ketitik ala ketara harus berupa kemenangan dalam salah satu cara untuk berbakti kepada negeri? (Baca juga: Prabowo: Saya dan Pak Hatta Maju Tidak untuk Tujuan Aneh-aneh)
Upaya hukum dan politik
Setidaknya, saat ini proses hukum dan politik yang tengah berjalan, sudah diajukan, maupun baru disuarakan oleh kubu Prabowo Hatta adalah gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan pembentukan panitia khusus kecurangan Pemilu Presiden 2014 di DPR.
"Kalau menurut saya, PTUN tidak bisa memutus untuk menerima gugatan itu karena seluruh tahapan pilpres sudah berjalan dan selesai," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso saat dihubungi, Kamis malam. Terlebih lagi, imbuh dia, gugatan tersebut diajukan ketika tahapan yang dipersoalkan sudah selesai.
Gugatan di PTUN dari kubu Prabowo-Hatta menyoal pencalonan Jokowi sebagai calon presiden. Menurut Topo, hukum pemilu merupakan fast track dalam ilmu hukum, yang memiliki batasan waktu dan tahapan.
Meskipun hukum pemilu juga menyediakan beragam jalur untuk mempersoalkan kandidat, tahapan, administrasi, hingga etika penyelenggara, papar Topo, tidak setiap jalur tersebut otomatis berdampak pada jalur lainnya, apalagi dicampuradukkan.
Sebagai contoh, Topo mengatakan putusan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memecat anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari beberapa kabupaten kota dan menjatuhkan sanksi peringatan bagi jajaran KPU, Kamis pagi, tidak otomatis berkorelasi dengan sengketa terkait hasil pemilu.
Misalnya, papar Topo, dalil yang dipakai dalam sengketa pilpres adalah perhitungan tidak tepat karena KPU melakukan ini dan itu yang melanggar etik. Menurut dia, dalil ini harus didukung dengan cara pembuktian yang memperlihatkan pelanggaran tersebut memang memengaruhi hasil atau tidak. "Tidak otomatis sanksi pelanggaran etik berkorelasi dengan sengketa hasil pemilu," ujar Topo.
Jalur PTUN
Setali tiga uang, kata Topo, jalur PTUN pun tak bisa dipakai dalam hukum pemilu ketika tahapan yang dipersoalkan sudah jauh terlewati. "Bila tidak begitu, hukum pemilu rusak, selalu terganggu gugatan yang melewati waktu (tahapan)," ujar dia.
Topo mengatakan, dalam hukum pemilu, setiap persoalan punya tahapan. "Bisa protes atau gugat keputusan KPU (soal tahapan). Tapi, kalau saat tahapan berjalan tak ada protes atau gugatan, tahapan itu dianggap sudah benar," ujar dia menyinggung pengajuan gugatan tentang pencalonan yang baru diajukan saat semua tahapan sudah selesai.
Dalam ranah pemilu, lanjut Topo, sengketa hasil pemilu adalah kewenangan penuh MK sebagaimana kewenangannya menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Ketika MK sudah mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat terkait hasil pemilu, jalur hukum lain dalam rezim hukum pemilu seharusnya tak bisa menerima lagi gugatan terkait pemilu.
Satu-satunya proses hukum yang bisa menghentikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, menurut Topo adalah pidana biasa. "Bukan lagi di rezim hukum pemilu," ujar dia. Pidana biasa yang sudah berkekuatan hukum tetap, ujar dia, bisa memengaruhi hasil pemilu, tetapi dalam konteks di luar rezim pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, kubu Prabowo-Hatta memang punya hak untuk mengajukan gugatan lewat PTUN bila merasa dirugikan oleh keputusan KPU. "Masalahnya, penggunaan hak ini sangat terlambat karena pemilu sudah selesai dan perselisihan hasil pilpres sudah diputus MK," kata dia, lewat pembicaraan telepon, Kamis malam.
Arif mengatakan, setiap tahapan pemilu bisa dipersoalkan, tetapi tidak boleh dilakukan ketika tahapan yang dipermasalahkan itu sudah selesai. Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif ini menyinggung pula bahwa ada kedaluwarsa untuk penanganan perkara di PTUN sekalipun.
"Secara normatif, mempersoalkan pencalonan Jokowi akan kedaluwarsa pada 29 Agustus 2014. Namun, secara substantif, tahap pencalonan sudah kedaluwarsa setelah melewati tahapan pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, apalagi sudah putusan sengketa hasil di MK yang bersifat final dan mengikat," papar Arif.
Publik sudah lelah
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Djito, mengatakan, upaya hukum dan politik yang masih akan digeber kubu Prabowo-Hatta tak lagi bermanfaat. "Upaya perlawanan hukum dan politik Prabowo sudah kehilangan makna, bahkan tak punya arti," ujar dia.
Menurut Arie, rakyat sudah akan melupakan pemilu presiden setelah putusan sengketa hasil di MK. "Rakyat jelas sudah makin dewasa bersikap. (Bila proses hukum dan politik dipaksakan), rakyat justru makin tak simpatik kepada Prabowo-Hatta," ujar dia.
Secara umum, imbuh Arie, pemilu presiden sudah usai. "Jika perlawanan dilanjutkan, rakyat akan mencibir," kata dia. "Apalagi ketika Jokowi-JK (calon presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla) sudah mulai bekerja, maka lambat laun (upaya) Prabowo-Hatta akan kehilangan makna."
Terkait upaya politik, Arif Wibowo mengajak kubu Prabowo-Hatta untuk ibaratnya mengukur baju sendiri. "Masa jabatan (periode 2009-2014) kita sudah mau habis. Hiruk pikuk politik akan jadi bumerang, tidak mendidik, serta tak memberi manfaat lebih banyak bagi bangsa dan negara," ujar dia.
Ya sudahlah...
Keadilan substantif, kata Tantowi, adalah sebuah esensi yang selama ini menjadi dasar pertimbangan putusan MK. Dinyatakan pula bahwa keadilan substantif merupakan hakikat penting dalam demokrasi.
"Kejadian ini menunjukkan masih banyak perjuangan kita untuk memperbaiki sistem pemilu mendatang," ujar Tantowi. "Kami akan terus berjuang bersama rakyat dan barisan Koalisi Merah Putih untuk memajukan kepentingan bangsa dan negara."
Tak dipungkiri, ada 62.576.444 suara yang menitipkan kepercayaan kepada pasangan Prabowo-Hatta, selain 70.997.833 suara bagi Jokowi-JK. Namun, apakah Indonesia tak bisa diibaratkan satu kelas yang baru saja usai menggelar pemilihan ketua kelas, yang siapa pun ketua kelasnya harus berbagi jadwal piket untuk kebaikan kelas milik bersama ini?
Terlebih lagi, pada bagian akhir pernyataan bersama Koalisi Merah Putih pun tertera, "Kecintaan kami pada negeri ini membuat kami terus mengawal dan berkontribusi pada bangsa walau ada di luar pemerintahan. Kami tidak ingin bangsa ini dikendalikan segelintir orang."
Posisi yang akan diambil menurut pernyataan itu pun sudah jelas. "(Lewat) perwakilan rakyat di parlemen (kami) akan terus mengawasi pemerintah sebagai kekuatan penyeimbang, (yang) dengan cara itu check and balances berjalan dengan baik."
Sayup-sayup terngiang lirik lagu lawas Elpamas yang juga pernah dinyanyikan Iwan Fals. "Pak Tua, sudahlah... Engkau sudah terlihat lelah... Kami mampu untuk bekerja...." Suara Bondan Prakoso pun samar-samar meningkahinya, "Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah... Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah...."
(ANN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.