Pemaafan bukan sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan tujuan yang tak kurang mulianya, yakni perbaikan (islah) yang mencakup rekonsiliasi antarmanusia atau antarwarga yang dalam Pemilu 2014, khususnya pilpres, diselimuti kemarahan yang terlihat cenderung berkepanjangan.
Dengan kandungan nilai dan semangat begitu mulia, pemaafan secara implisit juga berarti menunjukkan kesiapan seluruh warga bangsa untuk kembali hidup berdampingan secara damai. Karena bagaimanapun, setiap mereka adalah manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.
Hanya dengan pemaafan, bisa tercipta kedamaian dan harmoni, yang dapat mendatangkan suasana kondusif bagi setiap dan seluruh warga untuk melakukan ikhtiar terbaik demi kemaslahatan dan kemajuan negara-bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan nasional baru.
Pemaafan mengandung beberapa dimensi dan langkah penting. Dalam pengertian umum, pemaafan berarti mengingat dan sekaligus memaafkan. Dalam Islam, proses ini disebut sebagai muhasabah, yakni saling menghitung atau menimbang peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai pihak tertentu. Melalui muhasabah, semua pihak melakukan introspeksi untuk kemudian dapat melakukan pemaafan satu sama lain.
Islah dan empati
Kemauan dan tindakan islah, memperbaiki hubungan dan rekonsiliasi, merupakan amal saleh yang amat mulia, seperti dianjurkan Allah SWT dalam firman-Nya yang dikutip di atas (QS Al-Hujurat 49:10) bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Jika konflik terjadi di antara mereka, perlu diupayakan islah, perdamaian di antara mereka.
Memberi maaf atau pemaafan merupakan langkah dasar bagi terwujudnya islah (rekonsiliasi) di antara sejumlah pihak yang terlibat dalam tensi dan hubungan tidak baik. Dalam konteks kehidupan sosial-politik, Imam al-Syaikh Muhammad ’Abd al-Azim al-Zarqani dalam kitab Manahil Al-’Irfan fi ’Ulum Al-Qur’an (edisi 1988), menyebut dua macam rekonsiliasi yang perlu dilakukan.
Pertama, al-ishlah al-ijtima’i, rekonsiliasi kemasyarakatan melalui pengurangan ta’ashub atau sektarianisme sosial-politik. Kedua, al-ishlah al-siyasi melalui pengembangan komitmen pada keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang, serta sebaliknya menjauhi kebohongan, pengkhianatan, penipuan, dan kezaliman.
Tindakan islah pada saat sama merupakan pengejawantahan sikap empati terhadap realitas kemanusiaan. Setiap orang bagaimanapun adalah manusia biasa yang dapat terjerumus ke dalam kesalahan dan angkara murka yang merugikan masyarakat dan negara-bangsa.
Tidak ada seorang pun yang dapat menjamin dirinya tidak akan terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang membuka pintu pemaafan. Karena itulah, Islam sangat menganjurkan sikap empati.
Demikianlah, pemaafan yang telah menjadi bagian integral dari perayaan Idul Fitri sepatutnya tidak hanya sekadar menjadi saling silaturahim dan berjabat tangan. Sebaliknya, Idul Fitri hendaknya dapat menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus dari seluruh warga bangsa sehingga islah, rekonsiliasi, dan perdamaian terwujud secara berkelanjutan demi Indonesia yang damai, maju, dan berkeadaban. Wallâhu a’lam bish-shawab.
Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah; Direktur SPS UIN Jakarta; dan 2014 Fukuoka Prize Laureate.