Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keharusan Revolusi Mental

Kompas.com - 13/06/2014, 09:40 WIB

Apa yang kita saksikan pada kehidupan bangsa saat ini adalah banjir bandang kesenangan dan ambisi. Ledakan tuntutan selera dan gaya hidup bangsa ini menjadikannya salah satu pengimpor terbesar di dunia, mulai dari garam hingga barang mewah. Luapan ambisi kuasa membuat banyak orang meninggalkan tanggung jawab profesinya untuk merebut jabatan politik, bahkan menghalalkan segala cara termasuk kampanye hitam untuk meraih kekuasaan.

Dorongan selera pasar dan ambisi perseorangan itu juga sering harus dibayar mahal dengan mengorbankan kemandirian dan kedaulatan negara. Dalam situasi seperti itu, mental tak mampu menunjukkan kepemimpinannya, terpojok oleh warisan sejarah perbudakan mental serta cengkeraman selera dan ambisi. Sebuah politik tanpa kepemimpinan mental yang sehat tidak memiliki landasan perwujudan kebajikan kolektif. Perkembangan politik mengikuti logika terbalik: mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Untuk bisa bangkit dari keterpurukan, bangsa ini harus kembali ke trayek sejarah yang tercegat: melanjutkan revolusi mental. Inti dari revolusi ini adalah perubahan besar dalam struktur mental manusia Indonesia melalui proses nation and character building. Usaha pembangunan karakter ini harus mempertautkan antara proses penempaan pribadi yang berkarakter dan kolektivitas bangsa yang berkarakter. Bahwa kebaikan dan kekuatan karakter individual hanya bisa memperoleh kepenuhan manfaatnya jika terintegrasi ke dalam kebaikan dan kekuatan karakter bangsa secara kolektif.

Faktanya, negeri ini masih cukup memiliki pribadi-pribadi yang bermental karakter baik. Namun, sungguh defisit dalam kolektivitas yang berkarakter baik. Apa pun yang bersifat kolektif, mulai dari partai politik, parlemen, birokrasi, hingga ormas keagamaan, cenderung sakit. Pada titik ini Indonesia adalah bangsa yang belum selesai yang masih memerlukan penguatan kebersamaan dalam nilai, perilaku, cipta, rasa, dan karsa kolektif.

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang seperti sebuah bangsa. Ibarat individu, pada hakikatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian bangsa (nation) yang terkenal dari Otto Bauer: bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.

Perhatian terhadap variabel budaya, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat-bangsa pernah mengalami musim seminya pada 1940-an dan 1950-an. Para pesohor pengkaji budaya periode ini, seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara yang terpuruk pasca Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.

Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an. Pentingnya variabel mental-budaya bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu bangsa dapat dilihat dari serangkaian hasil riset yang dilaporkan dalam karya Lawrence Horrison (1985), Robert Putnam (1993), dan Ronald Inglehart (2000). Alhasil, di tengah intensifikasi globalisasi, kesadaran akan pentingnya penguatan karakter bangsa sebagai tumpuan daya saing justru mengalami gelombang pasang.

Mandiri dan berdikari

Bagi bangsa Indonesia, basis nilai sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Inti nilai Pancasila, bagaimana menumbuhkan semangat persatuan dalam keragaman dengan cara mengatasi mentalitas mementingkan diri sendiri (self-preservasion and self-centeredness), melalui penguatan mentalitas gotong royong berlandaskan semangat ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia, semangat gotong royong itu diarahkan untuk mengembangkan mentalitas-karakter bangsa yang berani berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Berdikari dan mandiri tak berarti harus menyendiri. Berdikari adalah sikap mental untuk berani menentukan pilihan sendiri yang dapat membebaskan ketergantungan ekonomi pada pihak-pihak asing. Berdikari tidak berarti anti asing, tidak pula mengurangi, malahan memperluas, kerja sama internasional berlandaskan semangat kesederajatan kemanusiaan yang saling menguntungkan. Jalan menuju kemandirian ekonomi ini bisa ditempuh setidaknya melalui penguatan semangat ekonomi kooperatif dan efektivitas peran negara dalam penguasaan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat; daya saing perekonomian dengan meningkatkan nilai tambah dari keunggulan potensi sumber daya yang dimiliki; kedaulatan pangan dan energi disertai pengutamaan pembelian produk dalam negeri.

Kedaulatan politik berdimensi eksternal dan internal. Kedaulatan ke luar adalah kesanggupan bangsa untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dan bebas mengatur pertaliannya dengan bangsa-bangsa lain berlandaskan prinsip kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Dan untuk itu perlu penguatan mentalitas kosmopolitan. Kedaulatan ke dalam diarahkan untuk memberikan perlindungan dan pengawasan pada putra-putri negeri dengan memberikan jaminan hak dasar setiap warga dan keselamatan wilayah, keadilan dan kepastian hukum, serta ketertiban dan kedisiplinan aparatur negara dan warga negara. Kesemuanya itu mensyaratkan proses pendalaman dan perluasan demokrasi berkarakter Pancasila.

Kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik hanya bisa tumbuh apabila bangsa ini memiliki kepribadian dalam kebudayaan. Berisi kematangan mental untuk percaya diri dalam mengekspresikan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa ini sebagai keistimewaan khusus dari semesta dalam semangat saling mengisi dan menyempurnakan keadaban dunia. Usaha menumbuhkan kepribadian dalam kebudayaan ini bisa dilakukan dengan cara memperkuat wawasan Nusantara dan penggemblengan mental-karakter bangsa; mengembangkan kearifan lokal dengan visi global; melakukan transformasi dari pembangunan berbasis ”modal natur” (sumber daya alam) menuju pembangunan berbasis ”modal kultural” (ilmu dan teknologi), dengan menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas inovasi masyarakat.

Tidak ada perubahan besar dalam sejarah tanpa perubahan mental. Demi mewujudkan cita-cita nasional yang terbengkalai, setiap orang harus ambil bagian dalam gelombang revolusi mental. Pemerintahan baru, siapa pun yang terpilih, harus memenuhi panggilan sejarah ini.

Yudi Latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com