Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lama Tak Mendengar Ceritamu, Hai Perempuan!

Kompas.com - 15/04/2014, 09:26 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Rasanya sudah cukup lama kita tak mendengar kisah tentang perempuan Nusantara yang gemilang. Perempuan Nusantara yang tangguh sekaligus memelihara sifat keibuan. Bukan perempuan yang berlomba-lomba menegakkan egonya sebagai perempuan yang mampu menundukkan dan mengalahkan lelaki.

Kini, kita pun selalu mengulang-ulang kisah tentang perempuan hebat yang tetap menjaga rumah tapi sekaligus ingat bangsanya. Di sana ada Tjoet Nyak Dhien, Tjoet Muetia, RA Kartini, Dewi Sartika, dan terakhir ada Tri Rismaharini.

Seminggu lagi kita akan memperingati Hari Kartini, sebuah hari untuk menghormati perempuan kelahiran Mayong, Jepara, bernama RA Kartini yang lahir pada 21 April 1879. Sebuah hari untuk kita kembali mencecap semangat kaum ibu yang telah memelihara kehidupan menjadi lebih baik, menjadi lebih harmoni yang dipenuhi kasih sayang.

Melalui pengetahuan dan kecakapannya menulis dan berbahasa asing, Kartini yang terikat dalam tradisi Jawa kala itu—yang menempatkan perempuan cuma "di dapur"—beroleh kesempatan membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Kartini pun tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Tiga puluh satu tahun sebelum Kartini lahir, ada juga seorang perempuan utama yang mempersembahkan jiwa raganya untuk kehidupan, untuk bangsanya di ujung barat Nusantara. Dialah Tjoet Nyak Dhien yang lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, dan meninggal di Sumedang pada 6 November 1908.

Ini tahun ke-105 kepergian Tjoet Nyak Dhien, seorang perempuan yang tercatat di lembaran negara sebagai pejuang asal Aceh yang melawan keserakahan dan ketamakan penjajah yang mengangkangi tanah dan kehormatan Aceh sebagai sebuah negeri dan sebuah bangsa.

Minggu sore, 13 April, saya diingatkan kembali tentang perempuan dahsyat itu. Perempuan yang tak sekadar sebagai istri dan ibu, tetapi juga tempat berlindung serta pemicu keberanian bagi kaumnya.

Melalui dramatic reading yang dibawakan oleh Sha Ine Febriyanti, sosok Tjoet Nyak Dhien pun dihadirkan kembali di panggung Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Tersebutlah Tjoet Nyak Dhien yang telah renta, buta, dan jauh dari tanah kelahiran terkenang akan masa lalunya. Ya, pada sebuah pagi, Tjoet Nyak Dhien yang telah disebratkan oleh penjajah dari tanah leluhurnya seperti sedang membacai kembali tanah leluhurnya: Nanggroe!

Maka, Nanggroe pun disebut-sebut dalam sunyinya, dalam kepedihannya. Katanya, orang bisa direnggutkan dari tanah kelahiran, tapi tak bisa direnggutkan dari cinta atas saudara-saudaranya bangsa Aceh yang telah ditindas oleh bangsa penjajah.

Nanggroe, Nanggroe, lalu nyanyian yang larat itu membelah pagi yang beku. Tjoet Nyak pun ingat akan anaknya yang selalu dininabobokan dengan cerita tentang Makhudun Sati, kakek moyangnya yang memiliki riwayat hebat yang telah menginspirasi gerakan perjuangan Tjoet Nyak.

Tersebutlah, Datuk Makhudum Sati dan pengikutnya pergi merantau ke wilayah pantai barat Aceh, atau sekitar Meulaboh sekarang, sekitar abad ke-18 ketika Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir (1711-1733).

Datuk Makhudum Sati kemudian mengembangkan pertanian lada di wilayah pantai barat Aceh tersebut sehingga membuat wilayah itu menjadi hidup perekonomiannya. Kemajuan ekonomi wilayah itu akhirnya diketahui oleh Sultan Aceh yang kemudian mengutus orang kesultanan untuk memungut pajak/upeti ke sana. Setelah beberapa kali membayar upeti, akhirnya Datuk Makhudum Sati melakukan pembangkangan yang membuat Sultan menjadi murka. Datuk Makhudum Sati kemudian dibawa ke ibu kota kesultanan, Banda Aceh, dan kemudian menjalani hukuman yang sangat berat. Namun, hukuman berat tersebut tidak membuatnya mati sehingga Sultan akhirnya memberi pengampunan dan memercayainya sebagai penjaga taman istana yang juga berarti penjaga keamanan sekitar istana Sultan.

Keturunan Datuk Makhudum Sati

Datuk Makhudum Sati kemudian diberi gelar Nanta Seutia Raja karena kesetiaannya dalam pengabdian kepada sultan, bahkan diberi kekuasaan di VI Mukim untuk turun-temurun. Ia mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Seutia dan Teuku Cut Mahmud. Sepeninggal Datuk Makhudum Sati, anaknya yang bernama Teuku Nanta Seutia kemudian melanjutkan kepemimpinan sebagai uleebalang VI Mukim.

Teuku Nanta Seutia mempunyai anak yang bernama Tjoet Nyak Dhien, yang dikenal sebagai pemimpin perang Aceh dan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sedangkan Teuku Ahmad Mahmud yang menikah dengan adik uleebalang Meulaboh mempunyai anak yang bernama Teuku Umar, yang juga dikenal sebagai pemimpin perang Aceh dan juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia.

Usia Tjoet baru 12 tahun ketika dia dinikahkan. Teuku Ibrahim, suaminya, adalah panglima perang yang pantang tunduk pada kaphe-kaphe (kafir-kafir, sebutan untuk penjajah Belanda). Pada masa kecilnya, Tjoet Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan di bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Tjoet Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Teringatlah Tjoet Nyak kepada Teuku Ibrahim suaminya. Tjoet Nyak bilang, suara Ibrahim merdu saat membaca Quran dan saat bercerita. Ia kerap mengisahkan, agama tidak hanya mengatur kehidupan, tapi menegakkan keadilan.

Kaphe Belanda akan membumihanguskan Tanah Aceh. Semua warga bersumpah membela Aceh, cuma Teuku Neh yang jadi pengkhianat. Dalam buku diceritakan bahwa Neh, Ulubalang Merasa, sejak kedatangan Belanda sudah menyatakan takluk dan siap membantu. Merasa yang berada di tepi pantai sangat strategis bagi pendaratan kapal-kapal Belanda. Dan, dari sinilah meriam-meriam kapal Belanda membombardir benteng pertahanan Aceh.
 
Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Teuku Ibrahim masih punya 200 orang prajurit, sementara penguasa Pidie hendak mengutus 1.500 prajuritnya.

Hari kelima datang kapal-kapal dari Ambon dengan senjata yang lengkap. Tjoet masuk ke pedalaman. Tapi belum terlalu jauh dia melangkah, kabar buruk tiba. Masjid Agung dibakar Belanda! Tjoet kembali ke medan tempur. Dia pun menggelorakan semangat bertempur pasukannya. Hari itu ribuan mayat bergelimpangan, perempuan dan anak-anak siap mengungsi, para lelaki ke medan perang. Ibrahim berkemas, tapi sebelum pergi, dia sempat berpesan, "Tjoet Nyak, ada 70 orang pasukan yang bisa kau pergunakan jika terjadi sesuatu denganku," kenang Tjoet Nyak.

Tjoet meyakinkan diri bahwa suaminya bakal pulang. Di langit seekor burung berkepak cemas. Mendung menggayut. Tjoet Nyak hanya bisa memandang punggung lelakinya yang kemudian hilang. Pada hari itu puluhan orang mengusung tandu. Sebuah lubang di kepala Ibrahim telah mengakhiri hidupnya. "Insya Allah Teuku, aku ikhlas," pedih hati Tjoet Nyak.

Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Tjoet Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Satu per satu para sahabat berguguran, kondisi ini ikut memudarkan perjuangan. "Kami memang hancur, tapi tidak ada kata menyerah," tutur Tjoet Nyak Dhien.

Di tengah kehancuran, Tjoet Nyak melihat seorang lelaki yang tegap. Dialah Teuku Umar. Ia melamar Tjoet, tapi ditolak awalnya. Namun, akhirnya diterima. Umar dan Tjoet adalah harapan baru. Istana Raja sudah dikuasai oleh Kaphe Belanda yang kemudian membangun pasar dan sarana sosial lainnya di sana, seolah Tanah Aceh adalah milik mereka.

Selanjutnya berlangsunglah kejadian yang sangat terkenal dalam Perang Aceh, mengenai siasat Teuku Umar yang berpura-pura membantu Belanda hingga mendapat kedudukan sebagai seorang panglima kepercayaan Belanda. Setelah semakin besar kuasanya, sampai mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan, Teuku Umar berbalik menyerang Belanda. Dia membawa serta uang dan persenjataan dari kumpeni sebagai modal perlawanan Belanda.

Ketika itu Teuku Umar melakukan perlawanan dan menyatukan semua pejuang Aceh dalam satu laskar pimpinannya. Tapi, meriam Belanda tak bisa ditaklukkan. Teuku Umar pun akhirnya gugur. Dan, akhirnya Tjoet Nyak Din dengan bantuan dari sisa-sisa pasukan Teuku Umar melanjutkan perlawanannya.

"Allah bersamamu Umar," kata Tjoet Nyak.

Tjoet tinggal di hutan liar. Dia sangat akrab dengan hutan, bahkan pada tiap dengus napas dan langkah, dia sudah bisa mendengarnya dari kejauhan. "Masih bisa kudengar degup jantung kaphe saat nyawanya hilang di ujung rencong."

Tjoet Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya.

Pada tahun 1901, usia Tjoet Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba pasukan.

"Pada sebuah malam, aku mendengar letusan. Semuanya menjadi gelap. Pang La'ot mengkhianatiku. Akhirnya aku diasingkan ke Tanah Sunda. Aku Tjoet Nyak Dhien, tetap perempuan merdeka yang pantang tunduk pada siapa pun yang menganiaya bangsaku," ujar Ine, meniru reka kalimat Tjoet Nyak yang heroik itu.

Sejarah mencatat, itulah pengkhianatan paling kontroversial yang dilakukan oleh Pang La’ot. Tindakannya salah, tapi secara kemanusiaan bisa dibenarkan. Sia iba dan tak rela terhadap Tjoet Nyak Dhien yang sangat dicintai dan dihormatinya tersiksa dan mati dalam kesengsaraan. Ia ingin Tjoet Nyak Dhien mati sesuai dengan statusnya sebagai bangsawan Aceh yang dihormati dan dikagumi.

***
Telah 105 tahun Tjoet Nyak Dhien pergi. Keberanian dan keteguhannya masih menggetarkan hingga kini. Sekarang yang tersisa adalah semangatnya dan juga namanya yang terpatri sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui SK Presiden RI No 106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Lima tahun lalu juga muncul Perangko Peringatan 100 Tahun Tjoet Nyak Dhien. Makamnya di Sumedang masih terawat hingga kini. Menurut penjaga makam, makam Tjoet Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan.

Makam Tjoet Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987.

Pada batu nissan Tjoet Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Perjuangan Tjoet Nyak Dien juga diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).

Biografinya juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda. Namanya juga terpatri pada sebuah kapal perang TNI AL yang diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.

Adapun mata uang rupiah bernilai Rp 10.000 yang dikeluarkan tahun 1998 juga memuat gambar Tjoet Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien. Namanya pun diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com