Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi adalah Prasmanan

Kompas.com - 04/04/2014, 11:02 WIB

Oleh:

KOMPAS.com - ENCIK Sri Krishna adalah seorang duda dengan tiga anak. Setelah perceraiannya, setiap malam ia harus ngemper alias menumpang tidur di rumah sahabatnya, perupa Samuel Indratma. ”Kita tidak boleh menyerah. Lupakan kepahitan masa lalu. Kita mesti menatap ke depan dan berbuat sebisanya.”

Kata-kata Samuel ini dipegang Encik untuk beranjak dari kelam masa lalunya. Encik adalah pemusik. Ia kemudian mendirikan kelompok band yang dinamai Low Bugdet Acoustic. Dengan biaya rendah, Encik mulai aktif dengan bandnya. Minggu, 16 Maret lalu, Encik menampilkan konser berjudul ”Ayo Lawan” bersama Mataraman Swa Orkestra di gedung kesenian Societet, Taman Budaya Yogyakarta.

Encik antara lain menampilkan lagunya yang berkisah menjalani hidup adalah peristiwa dan bukan sekadar kata-kata. Bagaikan daun kering yang jatuh di tanah berubah menjadi kesuburan, demikian pula hidup harus dijalani dengan teguh dan sabar, jangan sampai disia-siakan. Apabila sedang berada di atas, janganlah merasa paling sempurna. Manusia itu dekat dengan goda karena itu ia harus selalu ingat dan waspada bahwa mujur dan malang adalah sandangannya manusia.

Di tengah pentas, aktor dan penyair Whanny Darmawan membacakan tulisannya ”Surat Cinta buat Sri Krishna”. Kata Whanny, kebudayaan itu bagaikan puzzle terserak yang harus dikumpulkan. Suatu negeri mesti berdiri di atas puzzle budaya yang tertata. Untuk itu, perlu siasat kebudayaan. Siasat kebudayaan itu jangan dibayangkan muluk-muluk. Hidup yang susah, tetapi dihadapi dengan jujur dan tabah seperti yang dilakukan Encik Krishna sudah merupakan siasat kebudayaan.

Maka, kata Whanny, ”Jika kamu hanya punya uang Rp 50.000 sementara hidupmu masih berlangsung beberapa hari ke depan dengan beban seorang duda dengan tiga anak sekolah, apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kecukupan itu? Jika kamu bisa melampauinya dengan tanpa mencuri, itulah, kamu telah menempuh jalan siasat kebudayaan. Intinya, siasat berkebudayaan adalah jalan menuju masa depan dengan tetap menimbang nilaimu sebagai manusia.”

Bebal kritik

Konser Encik tak mungkin terjadi tanpa Folk Mataram Institut (FMI). Sesungguhnya FMI inilah mesin yang membuat konser malam itu sukses. FMI, yang terbentuk tiga tahun lalu, adalah tempat seniman Yogyakarta, seperti Ong Hari Wahyu, Samuel Indratma, Bambang Heras dan Encik Krishna, bergabung untuk menumpahkan kreativitas mereka.

Seniman-seniman itu berpendapat, sekarang segala kritik sudah tak mempan. Analisis ilmiah, karya rupa, karikatur, pertunjukan seni, dan sentilan di televisi sekritis apa pun sia-sia dan mental dari sasarannya. Dikritik sekeras apa pun penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, politik uang, dan tindakan menyimpang lainnya tetap saja berjalan.

Perilaku kekuasaan dan penguasa bukan hanya kebal, melainkan juga bebal dan menutup telinga dan hatinya terhadap kritik. Menghadapi kebebalan itu seni sungguh kebingungan. Untuk menjadi kritis, seni seakan kehabisan simbol, sinyal, dan inspirasi. Rasanya semua kreativitas seni untuk menyindir, menggugat, dan melawan sudah dikuras. Toh semua bagaikan memukul udara kosong.

Di tengah kebebalan, ketulian, kenekatan, dan ketidaktahumaluan kekuasaan ini apa yang masih bisa dibuat oleh seni? Inilah kegelisahan dan keresahan yang dihadapi seniman yang tergabung dalam FMI. Untuk mengatasi kegelisahan itu, mereka menuangkan sebuah konsep: perlawanan atau protes tidak lagi ditujukan kepada lawan di luar diri, tetapi lawan di dalam diri sendiri.

Mengatasi musuh dalam diri sendiri itu bisa menjadi kreativitas yang menyumbang hidupnya kebudayaan. ”Agar hidup kita tak sekadar buang umur, berbuatlah senekatnya, los setang dan jangan khawatir. Untuk apa kita khawatir apabila hidup lebih mengkhawatirkan daripada yang kita sangka?” Itulah kata-kata Samuel yang jadi salah titik berangkat kelahiran FMI. Kata-kata ini mewakili protes wong cilik yang ingin lepas dari kekhawatiran hidup yang menindihnya sehari-hari. Hidup yang berat tak mungkin dihadapi dengan kekhawatiran. Hanya dengan sikap nothing to lose alias los setang, hidup berat dapat dilawan.

Folk Mataram Institut (FMI) adalah sebuah nama resmi. Namun, dalam aktivitasnya sehari-hari, FMI hidup dari semangat pelesetannya, yakni Folk Mletho Indonesia. Mletho atau meleset adalah jiwa lawakan yang diwariskan pelawak legendaris Yogya, Basiyo. Dengan pelesetannya, Basiyo terbukti dapat mengajak orang untuk mendekonstruksi pelbagai kemapanan yang membuat banyak hal mandek. FMI ingin menghidupi jiwa pelesetan itu bagi gerak kebudayaannya. Maka, semboyannya: tak ada yang benar, yang benar adalah mletho karena itu makin mletho makin benar. Untuk itu, mereka mengumpulkan pelbagai kata yang bisa dipelesetkan dan dengan demikian mempertajam ke-mletho-annya.

Tak hanya kata, mereka juga sering memelesetkan pelbagai pengertian dan cara berpikir yang mapan hingga menemukan fakta bahwa ternyata banyak kebenaran bisa digugat dan ditertawakan. Memakai bahasa kerennya, mletho ini bagaikan suatu cara kerja filsuf Socrates yang selalu mempertanyakan kebenaran yang diajukan lawan bicaranya. Tujuannya bukan untuk menyodorkan kebenaran atau keyakinan baru, melainkan menggoyahkan segala keyakinan dan kebenaran yang palsu. Karena itu, semakin mletho-nya terasah, semakin orang berani los setang melawan kehidupan yang sering semu dan palsu dengan pelbagai kebenarannya yang mapan.

Dengan mletho, orang bisa terasah syak wasangkanya, lebih-lebih terhadap kekuasaan, karena kekuasaan sering bernaluri penindasan. Demikian juga terhadap kesalehan dan kesucian yang sering bernalurikan kemunafikan. Dengan mletho, orang bahkan bisa bersyak wasangka terhadap agama dan kereligiusan karena justru dengan dalih agama dan kereligiusan orang sering terjerumus ke dalam serakah keduniawian dan kematerialan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com