Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buntut Panjang Penangkapan Sang Penjaga Konstitusi

Kompas.com - 30/12/2013, 17:38 WIB
Ihsanuddin

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Akhir tahun 2013 merupakan tahun yang kelam bagi dunia hukum dan peradilan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya kasus korupsi menyeret lembaga pemerintah dan DPR, kali ini kasus korupsi menyeret lembaga hukum. Lembaga yang terseret juga tidak tanggung-tanggung, Mahkamah Konstitusi, garda terdepan dalam menjaga konstitusi di Indonesia.

Tepatnya pada Rabu (2/10/2013) malam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua MK Akil Mochtar. Akil ditangkap atas dua dugaan kasus suap sengketa pilkada, yakni Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Pilkada Lebak, Banten.

Selain Akil, pada malam itu ikut ditangkap juga lima orang lainnya. Di kediaman Akil di perumahan Widya Chandra, Jakarta Selatan, penyidik KPK menangkap anggota DPR dari Fraksi Golkar Chairun Nisa dan pengusaha Cornelius Nalau. Keduanya bersama Akil diduga sedang bertransaksi saat KPK melakukan penangkapan.

Pada penangkapan itu, KPK menyita uang 284.050 dollar Singapura dan 22.000 dollar AS atau setara Rp 3 Miliar. Penangkapan ini terkait dengan sengketa pilkada Gunung Mas di MK. Setelahnya, KPK juga melakukan penangkapan terhadap Bupati Gunung Mas Hambit Bintih.

KPK juga, pada malam itu, melakukan penangkapan terkait dugaan kasus suap terhadap Akil dalam pilkada Lebak. Dalam sengketa ini penyidik mengamankan seorang pria bernama Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang merupakan adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di kediamannya di Jalan Denpasar, Jakarta. KPK juga menangkap pengacara Susi Tur Andayani di kawasan Lebak, Banten. Susi sebelumnya diketahui telah menerima uang dari Wawan sebesar Rp 1 miliar untuk diserahkan kepada Akil.

KPK pun langsung melakukan pemeriksaan secara intensif. Kelima orang yang tertangkap tangan diperiksa 1x24 jam. Penggeledahan pun dilakukan di berbagai tempat. Berbagai dokumen dan sejumlah uang disita. Satu hari setelah penangkapan, KPK menetapkan kelimanya sebagai tersangka. Besoknya, mereka langsung menjalani penahanan di rumah tahanan KPK.

Majelis Kehormatan

Tak hanya KPK sebagai lembaga penyidik yang bergerak cepat. MK juga langsung bergerak seribu langkah. MK telah membentuk sebuah badan sementara yang disebut Majelis Kehormatan. "Kami mengambil langkah segera dengan membentuk Majelis Kehormatan untuk memeriksa kasus ini," kata Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva (sekarang Ketua MK).

Majelis Kehormatan beranggotakan berbagai unsur, yakni Hakim Konstitusi Harjono, Wakil Ketua Komisi Yudisial Abbas Said, Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Menurut Hamdan, Majelis Kehormatan dibentuk untuk melakukan penyidikan pada aspek kode etik yang terjadi di lingkungan MK. Sementara itu proses hukum tetap diserahkan sepenuhnya kepada KPK.

Majelis Kehormatan langsung memulai pekerjaannya empat hari setelah terbentuk. Sembilan orang yang dianggap bisa memberikan penjelasan terkait Akil dipanggil untuk memberikan keterangannya. Mereka adalah pegawai MK dari berbagai fungsi dan jabatan, mulai dari kepala bagian, sopir, dan office boy. Pada hari selanjutnya, Majelis Kehormatan memanggil pihak luar, yakni penyidik KPK dan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN).

Penyidik KPK saat itu tidak berkenan hadir karena sesuai undang-undang penyidik hanya bisa memberikan keterangan pada pengadilan. Sementara itu, pihak BNN dipanggil untuk memberikan keterangan terkait arkoba yang ditemukan di ruang kerja Akil saat penyidik KPK melakukan penggeledahan. Belakangan diketahui dari tes DNA kalau Akil positif menggunakan narkoba.

Pemeriksaan selanjutnya dilanjutkan dengan memanggil hakim konstitusi yang satu panel dengan Akil, yakni Maria Farida Indriarti dan Anwar Usman. Selain itu, Majelis juga memeriksa panitera yang bertugas saat sidang sengketa pilkada Lebak dan Gunung Mas. Tak seperti pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya, pemeriksaan kedua hakim ini dilakukan secara tertutup. MK beralasan, pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup itu untuk menjaga marwah hakim.

Terakhir, Majelis Kehormatan juga mencoba melakukan pemeriksaan terhadap Akil Mochtar. Karena sudah berstatus tahanan KPK, Majelis harus meminta izin terlebih dahulu kepada KPK untuk melakukan pemeriksaan.

Pada akhirnya, Majelis Kehormatan menyimpulkan bahwa Akil telah melakukan berbagai pelanggaran kode etik. Mereka pun memutuskan untuk memberhentikan Akil dengan tidak hormat. "Satu, hakim terlapor Dr Akil Mochtar, SH, MA, terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Dua, menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat kepada terlapor," kata Ketua Majelis Kehormatan Harjono (1/11/2013).

Perppu MK

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com