Tutup lubang
Maka, untuk menilai KPK sudah berhasil atau tidak dalam pemberantasan korupsi, harus dilihat utuh dari proses penanganan kasus hingga hasil akhir. Untuk dapat dianggap berhasil, keduanya harus sinkron. Sementara yang terjadi hari ini masih ada ”gap” antara proses dan hasil akhir. Semoga ini bisa diperbaiki KPK.
Faktor lain yang sangat menentukan kesuksesan pemberantasan korupsi adalah soal perbaikan sistem pasca-penindakan. Hal ini jarang menjadi diskursus, tetapi sesungguhnya amat penting.
Jamak kita lihat dan dengar penindakan-penindakan berupa penangkapan atau aksi hukum lainnya yang dilakukan oleh aparatus. Namun, sering kali setiap penindakan yang dilakukan tidak diikuti secara cepat dengan perbaikan sistem untuk menutup lubang. Analoginya, jika ada ban yang bocor tidak langsung ditambal.
Kita masih bertanya-tanya apa perbaikan yang sudah dan tengah dilakukan terkait business process migas pasca-tertangkapnya Rudi Rubiandini. Apa pula perbaikan di Korlantas Polri pasca-ditangkapnya Djoko Susilo. Pertanyaan yang sama juga muncul atas kasus lainnya.
Jika dibiarkan, kondisi demikian akan menciptakan reproduksi korupsi, dengan asumsi lahirnya pemain-pemain baru yang menggantikan aktor yang ditangkap oleh penegak hukum tadi. Ibarat peribahasa, ”patah tumbuh hilang berganti”.
Perbaikan sistem ini memang bukan tugas penegak hukum secara keseluruhan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah adalah pihak yang punya otoritas untuk mengatur dan menciptakan hukum.
Namun, KPK sebagai agen utama pemberantasan korupsi tentu harus memulai untuk menutup lubang sekaligus merekomendasikan perubahan kepada pengambil kebijakan agar pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan masuk kepada level ”berhasil”.
Catatan di atas merupakan kritik terhadap KPK agar tidak cepat puas diri dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan selama ini. PR masih banyak.