Lebih parah lagi, betapapun elite negeri tampak beragama, pemahaman keagamaannya ”berdasarkan kemalasan dan bukan kesalehan”. Interpretasi agama lebih menekankan aspek formal dan ritual daripada esensi akhlak keagamaan.
Memuja ”insan pembual daripada insan pekerja”, memperindah tempat ibadah daripada menolong kaum papa. Pemahaman keagamaan seperti ini membuat orang ”tak lagi beramal saleh”, dan mudah ”mencuci” korupsi dengan memberi sumbangan.
Akhirnya seperti telah diantisipasi oleh Wiranatakoesoema pada sidang BPUPKI:
"Pada hemat saya, hal yang menyedihkan ini disebabkan manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif.
Maka, alam moral ini hendaknya kita pecahkan karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.”
Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan