Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Novel John Grisham dan Pesta Demokrasi

Kompas.com - 22/11/2013, 12:29 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Maka, urutan cerita kemudian adalah kemunculan figur ideal yang "sempurna", tanpa cacat, mewakili psikologi rakyat setempat yang didominasi kaum konservatif.

Muncullah sosok ganteng, aktif di tempat ibadah, menjadi pelatih tim olahraga setempat, dan mempunyai keluarga harmonis dengan anak-anak manis. Isu yang diangkatnya mewakili kegelisahan dan kegeraman para pemilih.

Sementara si hakim moderat dibantai dengan isu bahwa dia penganut aliran liberal, berpihak pada penjahat, dan pengambil keputusan yang buruk. Secara bersamaan, dimunculkan pula tokoh kontroversial, abal-abal, yang secara frontal dan vulgar menghajar si hakim moderat.

Di belahan lain negara bagian itu, bank yang memberi kredit kepada pengacara pembela warga wilayah "limbah" perusahaan kimia dibeli pula oleh si pemilik perusahaan kimia. Tentu, melalui perusahaan lain yang tak terlacak kaitannya dengan perusahaan kimia. Pasangan pengacara warga itu dibangkrutkan dari sisi hukum dan finansial.

Dana kampanye yang sudah dibatasi ketat di Amerika diakali kubu "figur ideal" dengan memanfaatkan celah waktu audit menjelang hari pemilihan. Daftar pemilih dipelajari sungguh-sungguh untuk memetakan suara dan memperkirakan berapa persen hak pilih yang akan digunakan.

Singkat cerita, hakim moderat kalah telak, dengan pemilihan yang diikuti oleh sekitar 60 persen pemilih saja. Hakim "ideal" terpilih tanpa pernah tahu siapa penyusun skenario kemunculannya maupun kepentingannya.

Warga terbuai dengan gambaran figur ideal, tanpa peduli ketiadaan rekam jejak maupun minimnya kapasitas si sosok "ideal". Hakim moderat, sebenar apa pun pandangan hukumnya, ditebas hak one man one vote, yang hanya digunakan oleh 60 persen pemilih.

Inilah demokrasi

Hingga tibalah hari-hari hakim agung baru ikut dalam pengambilan keputusan kasus banding. Kerap kali dalam kasus pelik, suaranya sebagai "si orang baru" menentukan hasil akhir, saat posisi sebelum suaranya adalah imbang antara pendukung atau penentang putusan pengadilan negara bagian dari delapan hakim agung lain.

Atas nama semua janji kampanye, hakim agung yang baru ini membatalkan kemenangan gugatan dari ibu seorang anak yang cedera permanen tersambar lontaran logam yang terlontar karena mesin pemotong rumput. Alasannya, tak bisa dipastikan perusahaan pembuat alat dan operator mesin itu telah melakukan kelalaian yang menyebabkan insiden dan cacat pada anak itu.

Dilema terjadi ketika anak si hakim yang jagoan bisbol terhantam bola di tengah pertandingan. Ternyata alat pemukul yang dipakai lawan menyalahi ketentuan federasi, tetapi tak pernah ada penarikan alat oleh perusahaan pembuatnya. Diperparah, dokter rumah sakit salah mengambil hasil scan kepala anak si hakim. Anak itu pun cacat permanen.

Si hakim agung "ideal" baru bisa memikirkan anak cacat korban alat pemotong rumput pada saat anaknya sendiri tak akan pernah lagi bisa berlari di lapangan. Anaknya cacat permanen karena alat ilegal yang tak pernah ditarik produsennya dan karena telat penanganan akibat kecerobohan dokter.

Tetapi, atas nama janji kampanye, hakim "ideal" ini tak bisa menggugat produsen maupun si dokter. "Itu sama saja menjilat ludah sendiri," ujar dia. Sama naifnya dengan para pemilih yang disodori fakta hitam putih tanpa menelaah dan merasionalkan penilaiannya.

Pada akhirnya, dalam situasi itu, hakim agung "ideal" itu memutuskan perusahaan kimia di awal cerita memenangi sidang banding. Sebuah catatan "putusan ini saya buat dengan kebimbangan luar biasa" tak punya arti dalam kacamata hukum.

Pada hari putusan dibuat, perusahaan kimia seketika menangguk keuntungan 3 miliar dollar AS, setara Rp 33 triliun. Sementara pengacara warga yang penyakitan dengan utang 400.000 dollar AS mengajukan kepailitan, tak pernah ada pembersihan zat kimia di kota itu, dan warga yang terkena kanker tak sesen pun mendapatkan ganti rugi.

Otak pemenangan si hakim agung baru itu, konsultan yang direkrut perusahaan kimia, hanya berkomentar ringan, "Terima kasih demokrasi. Rakyat yang menentukan pilihan." Pada hari putusan dibuat, kontrak lain bertujuan serupa sudah mengantre, dengan nilai jasa berlipat kali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com