Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 21/08/2013, 13:52 WIB
EditorCaroline Damanik

Oleh: INDRA TRANGGONO

Joko Widodo memilih blusukan untuk meminta maaf kepada publik daripada bikin open house di rumahnya. Pencitraan atau bukan, pilihan etik ini menarik.

Dengan memilih jalan ini, Gubernur DKI Jakarta itu telah memafhumkan kepada publik: pejabat pemerintahlah yang banyak bersalah, maka sepantasnya mohon maaf kepada masyarakat.

Open house menguat saat Orde Baru berkuasa. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang feodal—mirip raja-raja Jawa—itu mampu melakukan penaklukan kolektif atas publik sehingga ia jadi figur sentral yang otoriter dan menakutkan. Kewibawaan (bisa jadi semu) pun terbangun. Celakanya, kini tradisi open house masih dijalankan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan.

Feodalisme ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara pasca-Orde Baru. Mereka ramai-ramai menjelma jadi raja- raja kecil untuk ”disembah” publik yang diposisikan sebagai kawula. Kepentingan lainnya adalah mendapat berbagai privilese.

Pola relasi yang terjadi adalah patron-klien. Patron dianggap berhak jadi sumber kehendak, misalnya memimpin dengan orientasi privat untuk soal-soal yang bersifat publik. Negara dan masyarakat seolah jadi miliknya, ditaruh di saku celana untuk digerogoti demi kepentingan sendiri. Kepemimpinan nasional (eksekutif, legislatif, yudikatif) pun jalan dengan kelemahan kontrol.

Semua urusan yang menyangkut hak-hak rakyat cenderung berlangsung dan diselesaikan di ruang gelap: dari soal transaksi kekuasaan, praktik-praktik kemakelaran, politik kartel, hingga pembobolan APBN. Jika Soeharto membangun kewibawaan dengan mengembangbiakkan ketakutan kolektif, para pejabat negara sekarang menggunakan kekayaan dan pencitraan (popularitas). Kewibawaan mereka sama-sama semu.

KOMPAS.com/Deytri Robekka Aritonang Salah satu meja makan di rumah dinas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat menggelar open house Idul Fitri, Kamis (8/8/2013)

Sebagai penyakit, tradisi open house mereduksi relasi sosial yang berwatak egaliter menjadi feodalistik. Publik mengalami penaklukan secara psikologis sehingga pejabat negara terpahami sebagai pihak yang memonopoli kebenaran. Padahal dalam praktik-praktik pelayanan publik, penyelenggara negaralah yang selalu (sengaja) khilaf sehingga hak-hak publik tertelantarkan. Maka, sewajarnyalah penyelenggara negara yang meminta maaf kepada publik yang berposisi sebagai korban kebijakan dan praktik-praktik penyimpangan.

Namun, sudah jadi tabiat, pejabat tidak mau berbesar jiwa mengakui kesalahan dan kekurangan dalam pelayanan. Mereka pun membangun citra sebagai sumber kebenaran dengan memanfaatkan momentum Lebaran melalui tradisi open house.

Jalan profetik

Dalam konteks perkembangan kebudayaan, open house sama sekali tidak memberi makna bagi terbangunnya civil society yang antara lain dicirikan dengan kemandirian, kesetaraan, etika, dan etos. Ini semua bermuara pada penguatan bangsa yang tercerahkan secara profetik, yakni bangsa yang terbebaskan dari berbagai kungkungan (kemiskinan, ketakadilan, kebodohan) dan pendangkalan nilai serta meningginya eksistensi sebagai manusia.

Penyelenggara negara memiliki amanah suci untuk menempuh jalan profetik, bukan justru menekan publik melalui kebudayaan demi penaklukan kolektif, misalnya dengan open house. Agama dan tradisi-tradisi kebudayaan telah memberi banyak narasi yang inspiratif bagi para penyelenggara negara dalam konteks kepemimpinan bangsa. Agama dan tradisi budaya selalu meletakkan berbagai otoritas di bawah kepentingan publik, bukan sebaliknya. Untuk itu, dalam berbagai leksikon budaya dan agama dikenal konsep darma, khalifah, dan pelayan. Dalam konteks itu, pemimpin selalu berada di depan, dengan pasang badan demi kepentingan publik, tetapi selalu ikhlas untuk berada di belakang terkait dengan kepentingan material/nonmaterial.

Dalam tradisi budaya Jawa, misalnya, pemimpin disebut sebagai subyek yang bekerja lebih dulu, tetapi makan belakangan setelah semua orang yang dipimpin kenyang. Dengan otoritasnya, pemimpin menjalankan regulasi agar seluruh aset negara terdistribusi secara adil, bukan malah mengakali regulasi untuk me-nilep hak-hak publik.

Tradisi open house demi mengelap-lap ”kewibawaan” penyelenggara negara, pejabat, dan pelayan publik berpotensi untuk dieksploitasi demi memborong kebenaran. Karena itu, selayaknya penyakit sosial itu disembuhkan melalui cara-cara yang lebih bermartabat.

Saatnya para penyelenggara negara rendah hati untuk lebih memiliki rasa bersalah dan berdosa atas peran-peran sosialnya yang selama ini cenderung mengecewakan publik. Minta maaf kepada publik bukan hanya dengan mendatangi mereka, melainkan yang utama adalah menjalankan fungsi pelayanan yang distributif dan adil. Jangan menambahi kesusahan hidup rakyat dengan menyuruh mereka meminta maaf melalui open house.


INDRA TRANGGONO, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Komnas HAM Menyambut Baik 269 Rekomendasi UPR untuk Pemerintah Indonesia

Komnas HAM Menyambut Baik 269 Rekomendasi UPR untuk Pemerintah Indonesia

Nasional
Hampir Dua Bulan Berlalu, Pilot Susi Air Belum Juga Dibebaskan

Hampir Dua Bulan Berlalu, Pilot Susi Air Belum Juga Dibebaskan

Nasional
MK: Tak Relevan Menyamakan Masa Jabatan Kepala Desa dengan Presiden

MK: Tak Relevan Menyamakan Masa Jabatan Kepala Desa dengan Presiden

Nasional
Memilih Pemimpin yang Menguasai Geopolitik Indonesia

Memilih Pemimpin yang Menguasai Geopolitik Indonesia

Nasional
Ratusan Huntara Bunga Siap Dihuni Penyintas Gempa Cianjur

Ratusan Huntara Bunga Siap Dihuni Penyintas Gempa Cianjur

Nasional
Modus Cuci Uang Oknum Kemenkeu: Punya 5-8 Perusahaan Cangkang, Pakai Nama Sopir hingga Tukang Kebun

Modus Cuci Uang Oknum Kemenkeu: Punya 5-8 Perusahaan Cangkang, Pakai Nama Sopir hingga Tukang Kebun

Nasional
Indonesia Fokus Hindari Sanksi FIFA, Jangan sampai Dikucilkan dari Sepak Bola Dunia

Indonesia Fokus Hindari Sanksi FIFA, Jangan sampai Dikucilkan dari Sepak Bola Dunia

Nasional
Ganjar Blunder soal Tolak Israel, 'Dirujak' Warganet, dan Elektabilitasnya yang Terancam

Ganjar Blunder soal Tolak Israel, "Dirujak" Warganet, dan Elektabilitasnya yang Terancam

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Masa Jabatan Kades di MK Kandas | Kapolri Lantik Kabaintelkam

[POPULER NASIONAL] Gugatan Masa Jabatan Kades di MK Kandas | Kapolri Lantik Kabaintelkam

Nasional
Muhaimin Bakal Hadiri Acara Silaturahmi Ramadhan PAN

Muhaimin Bakal Hadiri Acara Silaturahmi Ramadhan PAN

Nasional
Tanggal 3 April Hari Memperingati Apa?

Tanggal 3 April Hari Memperingati Apa?

Nasional
RUU Jakarta Mulai Dibahas jelang Pemindahan Ibu Kota ke IKN

RUU Jakarta Mulai Dibahas jelang Pemindahan Ibu Kota ke IKN

Nasional
BERITA FOTO: Simulasi Perang Khusus Awali Penyematan Brevet Kopaska

BERITA FOTO: Simulasi Perang Khusus Awali Penyematan Brevet Kopaska

Nasional
Ditjen HAM Sebut 60 Persen Tahanan di Indonesia Terkait Kasus Narkotika

Ditjen HAM Sebut 60 Persen Tahanan di Indonesia Terkait Kasus Narkotika

Nasional
BERITA FOTO: Alkes Bekas RSDC Wisma Atlet Kemayoran Akan Dihibahkan

BERITA FOTO: Alkes Bekas RSDC Wisma Atlet Kemayoran Akan Dihibahkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke