Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" "yang asli" dirilis Koran Sin Po edisi November 1928 dan diaransemen ulang oleh orang Belanda, Jos Cleber, pada 1950, dengan pertimbangan Soekarno. Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" yang diaransemen Jos Cleber itulah yang dinyanyikan sampai sekarang.
Berikut ini tiga bait lirik lagu kebangsaan "Indonesia Raya" versi 1950 yang kemudian menjadi acuan PP Nomor 44 Tahun 1958.
Bait I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Bait II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
Bait III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrein
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Melalui lagu kebangsaan "Indonesia Raya", pendiri bangsa ini berpesan supaya warga negara bersatu dan itu artinya menghargai perbedaan. Namun, hari ini, ada warga negara yang kesulitan beribadah, bahkan di kampung halamannya sendiri.
Pendiri negeri ini lewat lagu "Indonesia Raya" mengingatkan generasi penerusnya untuk menjaga tanah dan pulau. Namun, sudah berapa kekayaan laut yang dicuri pukat harimau tetangga? Mereka yang seharusnya menjadi penjaga negeri ini pun malah kerap ketahuan membuka pintu rumahnya sendiri untuk pencuri. Berapa pulau yang hilang? Sipadan dan Ligitan, misalnya, sudah tak lagi dalam pelukan Ibu Pertiwi.
Indonesia juga "tak lagi kaya". Negeri yang diperebutkan negara-negara asing karena kekayaan alam yang dimiliki, kini mengirim wanita-wanitanya meninggalkan anak, suami, dan orangtua untuk bekerja di luar negeri. Parahnya, ketika wanita-wanita itu tak diperlakukan layaknya manusia, penyalur tenaga kerja menolak mengongkosi mereka pulang dengan alasan, "Kami rugi."
Bila lagu ini benar-benar menjadi "roh" bagi bangsa ini, sungguh malu ketika di lagu kebangsaan yang membanggakan kesuburan tanah Indonesia, justru faktanya impor meraja untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tak hanya untuk beras yang menjadi bahan pangan utama, impor juga menjadi pilihan pengelola negara untuk memenuhi kebutuhan daging, kedelai, bawang, bahkan garam.
Karena itu, bisa jadi, Indonesia hanya bertambah usia, tetapi belum menjadi besar setelah 68 tahun merdeka. Bukan berarti sudah tak ada lagi kesempatan bangsa ini menjadi besar. Tak mesti pula kebesaran itu didapat melalui jalan perang.
Bangsa ini lahir dari benih dan rahim orang-orang yang tak jerih berjuang meraih kemerdekaan, apa pun taruhannya. Barangkali, kebesaran bangsa ini bisa diawali dengan kembali merapal secara utuh "mantra" berupa lirik "Indonesia Raya" yang dulu menggetarkan Belanda dan Jepang, untuk kemudian menjadikannya nyata lewat karya anak bangsa.
Dirgahayu ke-68 Indonesia yang raya!!
MERDEKA!!!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.