Bagaimana dengan kabupaten dan kota di provinsi dengan kemampuan PD di bawah 50%? Di Provinsi Gorontalo dengan PD 30%, hanya Kota Gorontalo yang PD-nya mencapai 25%. Adapun di lima kabupaten lain, PD hanya berkisar 7-18%. Gorontalo Utara bahkan hanya memiliki PD kurang dari 1% (dan PAD 0,5%) dari total APBD 2012 yang berjumlah Rp 342,6 miliar. Di Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki PD hanya ±30%, semua lima kabupaten di dalamnya hanya memiliki PD 5-16%. Mamuju Utara, sebagai contoh, memiliki PD 5% (PAD 1,9%) dari total APBD yang berjumlah Rp 408,9 miliar.
Lebih menarik lagi, rendahnya PD dan PAD kabupaten itu ternyata bukan monopoli ”luar Jawa”. Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat hanya memiliki PD 6% dan PAD 3%. Pemalang di Jawa Tengah yang memiliki PD 20% hanya memiliki PAD 6%. Madiun di Jawa Timur yang memiliki PD 22% juga hanya memiliki PAD 5%.
Tiga langkahBagaimana menyikapi potret seperti itu? Pertama, karena tak pernah ada angka yang digunakan sebagai acuan dan dipedo- mani dalam pembentukan daerah otonom, jelas tak mudah memberi pendapat tentang ujung kekhawatiran tadi. Tanpa angka itu pula, kekhawatiran akan tetap ada untuk jangka waktu yang tak dapat dipas- tikan kapan berakhir. Mengapa angka itu belum juga ada? Tampaknya bukan karena tidak dapat dihitung dan ditentukan, tetapi jangan-jangan tidak dikehendaki.
Kedua, kalaupun 50% dijadikan ambang batas bawah bagi kemampuan pemerintah daerah untuk mengumpulkan PAD (tanpa PLYS) terhadap total APBD, hal itu pun masih sulit dilaksanakan, terutama secara politis. Hingga tingkat provinsi pun, baru 11 provinsi yang mampu menggali PAD di atas 50%. Tahun 2012, sebagai misal, kemampuan tertinggi dalam menggali PAD hanya 76% (Jawa Timur). Bila diturunkan hingga 30%, hanya 21 provinsi. Seandainya diturunkan hingga 20%, hanya ada 24 provinsi.
Menggunakan data itu dan mengaitkannya dengan logika ketentuan UU bahwa status otonomi dapat ”ditarik/dibatalkan” kembali, hampir dapat dipastikan hal itu tak akan jadi pilihan. Pertimbangan politik, terutama keutuhan bangsa dan negara, akan segera jadi taruhan, apalagi kalau berupa ”pembubaran dan penggabungan kembali” dengan provinsi lainnya.
Bahkan, dalam kasus provinsi yang hanya memiliki kemampuan menggali PAD di bawah 10%, pemikiran ke arah itu pasti tak akan memperoleh akomodasi. Dalam UUD, provinsi mewakili konsep ”daerah besar” yang menjadi referensi pikir pertama dalam konteks pembagian wilayah negara (dan pemerintahan daerahnya).
Bahwa konsep otonomi harus mencerminkan kemampuan mengurus beberapa fungsi sebagai urusan rumah tangga sendiri dan, dengan begitu, soal kemampuan mengelola secara efektif, efisien, optimal sumber daya daerah menjadi sine qua non sifatnya, maka fenomena pemerintah provinsi yang ”tampak hebat” secara makro, tetapi hal yang sama tidak tecermin pada kabupaten/kota yang ada di dalamnya, semestinya dicermati.
Bila Papua atau Aceh atau Maluku Utara memiliki performa dan kinerja rendah, dan kabupaten/kota di dalamnya juga rendah, mungkin masih dapat dipahami. Namun, bila Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki kabupaten yang hanya memiliki PAD kurang dari 7%, pastilah ada yang salah dalam konsep atau sistemnya.
Ketiga, dengan memperhatikan besarnya pengaruh politik, pemikiran tentang pembenahan konsep maupun praktik agaknya lebih realistis bila pendekatan difokuskan pada performa dan kinerja kabupaten/kota. Penggabungan ke daerah otonom lain (atau daerah otonom lain yang sebelum pemekaran merupakan daerah induknya) sebagaimana diisyaratkan dalam UU Pemerintahan Daerah mestinya menjadi pilihan yang secara rasional dipertimbangkan. Kehebohan politik pasti ada meski tidak akan lebih besar daripada kalau membubarkan provinsi.
Penggabungan sesungguhnya pilihan legal juga rasional. Bila hal itu juga terpaksa tak ditempuh, beberapa hal sepantasnya dipertimbangkan saksama.
A. Kebijakan moratorium pembentukan daerah otonom baru benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Sikap dan langkah yang tak konsisten hanya akan memperburuk keadaan.
B. Kriteria dan elaborasi syarat pembentukan daerah otonom dan penggabungannya harus secepatnya dipertegas, diperjelas, dan dipegang teguh.
C. Pembangunan kemampuan aparatur daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian roda pemerintahan dan pembangunan khususnya dalam pengelolaan anggaran harus diberi prioritas. Bila perlu, digelontor aparat perbantuan dari pusat sambil menciptakan sistem yang mampu mencairkan sentimen primordialisme dan rasa kedaerahan yang sempit
D. Penumbuhan prinsip reward and punishment berlandaskan aturan main yang jelas dan melaksanakannya dengan tegas. Performa dan kinerja yang tak menunjukkan perbaikan dari tahun anggaran sebelumnya harus berisiko tidak bertambahnya pemberian Dana Perimbangan untuk tahun berikutnya.
Bambang Kesowo