Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/06/2013, 18:21 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Kegiatan ini menurut Rini, bisa melipur hatinya yang kerap diliputi oleh ketakutan akan hari esok yang legam.

Tapi setabah-tabahnya Rini, ia cumalah seorang perempuan muda. Usianya baru 27. Sebuah usia yang belum cukup matang untuk menerima kegetiran hidup se-tiba-tiba itu. Bayangkanlah, ketika remaja, Rini menjalani hidupnya lurus-lurus saja. Ia memang tahu, beberapa kawannya memakai narkoba, tapi tak pernah sekalipun Rini mencobanya. Sebagai anak sulung di keluarganya, Rini juga ingin menjadi teladan bagi adik-adiknya. Oleh karenanya, ia pun semampunya berkelakuan baik, termasuk beribadah kepada Tuhan Yang Kuasa seperti yang diajarkan oleh agamanya.

Rini, tak seperti kebanyakan penderita HIV yang terjangkit lantaran narkoba atau seks bebas yang kebanyakan di antara mereka memang tahu risiko dari pilihan hidupnya. Rini adalah sebuah pengecualian. Kesalahan terbesar Rini cumalah karena ia memilih bersuamikan seorang lelaki penderita HIV yang tak jujur kepadanya.
* * *

Ya, ya..., berada di sekitar para penderita HIV sungguh seperti sedang menonton pertunjukan sulap. Kejutan demi kejutan yang mengoyak akal sehat, bisa mendadak datang dari mereka.

Saat Baby Jim Aditya memperkenalkan seorang penderita HIV bernama Polan (bukan nama sebenarnya) di tahun 2001 pada hari Aids, rasanya tak percaya. Kecuali masih muda, penampilan Polan juga tampak sehat-sehat saja.

Tapi rupanya, itu kejutan yang tak seberapa. Sebab dari mulut Polan akhirnya muncul kisahnya sendiri. Ternyata ia adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya yang juga terkena HIV/Aids. Tak berhenti sampai di situ, rupanya An dan istrinya almarhum...juga telah dikaruniai seorang anak berusia 3 tahun (kala itu). Entahlah, apakah kini Polan telah berani memeriksakan anaknya itu untuk mengetahui sang anak terkena HIV atau tak. Tak cukup sampai di situ, terakhir terdengar kabar, Polan sudah menikah kembali. Tak jelas benar, apakah Polan menikahi seorang perempuan penderita HIV atau perempuan sehat.

Kemudian pada tahun 2003, saya diperkenalkan dengan seorang anak muda berusia 20 tahun bernama Andika. Saat bercakap-cakap dengannya, tampak betul jika Dika--panggilan akrab Andika, adalah seorang anak yang cerdas. Benar dugaan saya, sebab belakangan saya tahu, ketika sekolah dasar Dika selalu juara kelas. Tapi apa mau dikata, ternyata virus HIV pun siap merampas kemudaannya kapan saja. Ya, Andika, si anak cerdas, si muda belia, ternyata telah
terserang virus mematikan itu: HIV!

Dan tanpa tedeng aling-aling, Andika dengan gagah mengaku dirinya adalah junkies, adalah penderita HIV, adalah seorang anak muda yang belakangan gampang didera oleh penyakit maupun depresi yang turut memperlemah kondisi tubuhnya.

Setelah Andika, saya juga kenal Di, Ja, dan berpuluh-puluh anak muda yang pada tubuhnya telah mengeram virus HIV. Dari mereka yang masih segar bugar, setengah sehat, hingga yang sedang meregang maut di RS Dharmais. Sebagian besar terjangkit lewat jarum suntik yang digunakan ramai-ramai saat pakaw (mengkonsumsi putaw), sebagian lainnya lantaran hubungan seks bebas di antara para junkies.

Makin mengenal komunitas para penderita HIV, terasa kian terbukti ucapan Baby Jim Aditya pada suatu ketika, betapa HIV di Indonesia serupa fenomena bola salju yang menggelinding dari bukit. Makin besar dan makin membesar. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang di negeri kita telah terjangkit HIV. Dan sialnya, sebagian besar di antaranya adalah mereka yang tergolong usia produktif. Bahkan saya dengar dari cerita Wulan, salah seorang aktivis Aids, ada anak berusia 13 tahun yang juga telah terjangkit virus HIV.

"Kita tak pernah tahu, mungkin saja orang-orang di sekeliling kita sebetulnya sudah terjangkit virus HIV," ujar Baby berkali-kali setiap membicarakan penyebaran virus HIV/Aids di Indonesia.
***

Tiga bulan sudah saya tak lagi berkomunikasi dengan Prita dan Rini. Dari Wulan saya dengar, Prita masih asyik dengan bisnis kausnya. Entahlah dengan Rini. Semoga saja keduanya memiliki kegiatan yang bisa melupakan derita hidup mereka.

Tapi sungguh, tiap kali mengenangkan wajah keduanya, saya sedih dibuatnya. Wajah-wajah yang manis itu, terutama Rini, mungkin saja akan segera kisut dalam sepuluh tahun mendatang lantaran Aids mendera kekebalan tubuhnya.

Hingga kini saya masih merasakan kepedihan hati Prita dan Rini yang pernah menuduh dunia tak adil memperlakukan mereka.
Tapi begitulah hidup, kawan-kawan yang manis. Hidup bagai kain yang kita pintal hari demi hari. Sadar atau tidak, kita jualah yang memilih benang-benangnya untuk menjadi kain sutra atau selembar blacu yang rombeng.
"Lihatlah, Rin...mendung kini telah pergi. Matahari dengan leluasa menyengat gigir Gunung Salak. Begitulah pula hidup kita.

Kadang redup, kadang cerah," kata saya kala itu.

Rini cuma mengangguk. Ia mencoba untuk tersenyum, tapi tetap saja kabut masih membayang di matanya. Ya, ya..., Rini memang belum memeriksakan darahnya untuk memastikan apakah dirinya positif HIV atau tidak. Tapi saya melihat bayang-bayang keputus-asaan amat kental di wajahnya Mulutnya terbata-bata ketika saya menanyakan perihal keluarganya nun di Pulau Sumatera sana. Ia bilang, keluarganya belum tahu kondisi dirinya dan juga suaminya.

Lantaran mengenangkan kemungkinan buruk itu, kemungkinan pada suatu kali kelak keluarganya tahu kondisi dirinya, air matanya mulai menitik di ujung kedua matanya.

Saya mengelus telapak tangannya lembut. Mencoba memberinya ketabahan. Lalu saya bilang, mengapa kita tak belajar kepada daun yang tetap bermanfaat bagi kehidupan kendati ia telah rontok ke tanah.

"Daun?" tanya Rini.
"Ya, daun...," jawab saya.
"Daun..., akulah itu daun yang kini dimakan ulat, meranggas pelan-
pelan sebelum akhirnya mengelinting kering."
"Semua orang juga akan kering mengelinting."
"Tapi tidak seperti aku."
"Ah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok."
"Maksudmu?"
"Kenapa kita memikirkan sesuatu yang sungguh mati bukan urusan
kita."
"Lantas?"
"Menjadi daun itulah maksudku. Tak soal dimakan ulat atau diserang
hama lainnya, toh ketika rontok, lantas jadi humus, ia bermanfaat bagi
tanah yang menumbuhkan kehidupan bagi tanaman."
Rini diam sejenak. Matanya menerawang jauh entah ke mana. Tapi
pelan-pelan senyumnya terbit dari bibirnya yang tipis.
"Kenapa?" saya bertanya.
"Aku sedang berpikir," sahut Rini.
"Memikirkan suamimu?"
Rini menggeleng.
"Memikirkankan ketemu pelawak?"
Rini mencibir. Lalu, dengan senyum dikulum ia berkata, "Aku sedang
berpikir mau jadi daun apa."
"Semua daun bermanfaat," kata saya.
Rini tiba-tiba bangkit. Masih dengan senyum di kulum, pelan-pelan ia
melangkah menuju halaman yang ditumbuhi rumput dan aneka
tumbuhan.
Rini terus berjalan. Mendadak ia menghilang di balik semak-semak
tanaman sirih. Lima detik tak saya dengar suara Rini. Sambil berjalan
mendekati tempat persembunyiannya, saya memanggil namanya.
"Rini..., Rini... di mana kamu?"
Tak ada jawaban.
"Rin..."
"Aku di sini."
"Ngapain kamu di situ?"
"Aku sedang belajar jadi daun."
Saat saya jumpai Rini, ia sedang telentang di atas rumputan sambil
memejamkan mata. Dari mulutnya tersungging senyuman yang
menyejukkan. Amat damai...sangat damai. Ah..., barangkali ia tengah
membayangkan, dirinya telah sempurna menjelma daun.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com