Jakarta, Kompas
Demikian dikatakan ahli transportasi Universitas Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, Sabtu (8/6), saat dihubungi di Semarang. ”Saya amati perdebatan koalisi Sekretariat Gabungan (Parpol Pendukung Pemerintah), justru perdebatan itu kontraproduktif dan tidak menuntaskan persoalan,” ujarnya.
”Sudah berdebat berkepanjangan, bahkan boleh jadi koalisi partai politik menjadi retak, maka sangat disayangkan jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan,” kata Djoko. Dia menegaskan, untuk menuntaskan membengkaknya APBN karena tingginya konsumsi BBM, urusan politik harus dikesampingkan.
”Partai politik harus memahami bahwa yang seharusnya
Djoko mengatakan, yang kini perlu dirundingkan dengan demikian bukanlah kenaikan harga BBM, tetapi, program-program apa yang harus disusun dan dibahas supaya ongkos angkutan umum menjadi terjangkau.
”Ada baiknya pula pemerintah dan partai politik mengevaluasi apakah program kompensasi dari kenaikan harga BBM benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Jika tepat sasaran, ya, sangatlah baik. Jika tidak, sebaiknya dikoreksi,” kata Djoko.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum DPP Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Eka Sari Lorena mengungkapkan, persoalan subsidi BBM yang menyedot APBN kurang dikaji secara mendalam.
”APBN tetap akan jebol jika persoalan hulu, yakni ketersediaan angkutan umum, tidak dijamin,” ujarnya.
Menurut Eka, pemerintah dan DPR terlihat lebih sibuk berdebat tentang naik atau tidaknya harga BBM. ”Saya rasa lebih penting mendukung program revitalisasi angkutan umum. Gunakan energi kita bersama untuk membahasnya daripada mendebat apakah harga BBM perlu naik atau tidak,” kata Eka.