KOMPAS.com — Belum genap seminggu, perseteruan Partai Keadilan Sejahtera dengan Komisi Pemberantasan Korupsi terasa sudah tidak menarik lagi. Padahal, drama itu seminggu lalu menghadirkan perbantahan panjang yang berujung di Mabes Polri.
Drama itu berawal Senin (6/5/2013) malam saat sejumlah penyidik KPK mendatangi kantor DPP PKS yang hendak menyita enam mobil, yaitu VW Caravelle B 948 RFS, Nissan Navara B 9051 QI, Mitsubishi Pajero Sport B 1074 RFW, Mitsubishi Grandis B 7476 UE, Mazda CX9 B 2 MDF, dan Toyota Fortuner B 544 RFS.
Enam mobil itu disita karena diduga terkait sangkaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus suap daging impor dengan tersangka mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Meski dinilai menyalahi ketentuan penyitaan oleh Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS Fahri Hamzah dan dilaporkan ke polisi, KPK tak surut. Untuk ketiga kalinya, 22 penyidik KPK, Rabu (15/5/2013), datang. Dengan kelengkapan dokumen, seperti surat tugas, penyitaan, dan penyidikan, para penyidik disambut pengurus DPP PKS, salah satunya Ketua Bidang Humas DPP PKS Mardani Ali Sera.
Penyitaan mobil ini hanya sepenggal kasus dugaan korupsi yang mendera PKS. Beberapa elite partai dimintai keterangan sebagai saksi di KPK, termasuk pucuk pimpinannya, yaitu Presiden PKS Anis Matta dan Ketua Majelis Syura PKS Ustaz Hilmi Aminuddin. Sebelumnya, Saldi Matta (adik Anis Matta) dan Ridwan Hakim (putra Hilmi) juga diperiksa sebagai saksi.
Lebih menghebohkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan aliran dana dari Ahmad Fathanah, teman dekat Luthfi, kepada sejumlah perempuan, termasuk bintang film senior Ayu Azhari. PKS tegas menolak dikaitkan dengan Fathanah.
Geliat kasus dugaan suap impor daging sapi dengan tersangka mantan Presiden PKS jelas mencederai citra PKS sebagai partai dakwah bersih, peduli, dan profesional. Publik terguncang dengan penggalan-penggalan kasus yang menghebohkan, termasuk drama penyitaan selama dua pekan itu.
Menurut Direktur The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto, kesan PKS tak bekerja sama dengan KPK saat penyitaan mobil jadi "blunder" politik. "PKS seharusnya menyadari, alotnya penyitaan mobil-mobil itu justru menjadikannya sebagai sasaran tembak berbagai pihak. Berhadapan vis-a-vis dengan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang dipercayai publik, terlebih dalam soal instrumental, tak menguntungkan," katanya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril, berharap, PKS tetap kooperatif dengan penegak hukum. Gunakan jalur hukum jika ada hal-hal yang dianggap melanggar aturan dan hindari politisasi kasus.
"KPK juga harus tetap fokus mengusut kasus korupsi dan TPPU-nya. Kembangkan kasus ini dengan memperkuat alat bukti di persidangan," katanya.
PKS sendiri menyadari tumbuhnya persepsi negatif publik selama dua pekan ini terhadap partai tersebut. "Namun, kami yakin, kader partai bisa membangun reputasi baik lagi," kata Mardani.
Sebenarnya, upaya membangun reputasi positif diperlihatkan menjelang babak akhir penyitaan mobil. Menjelang kedatangan penyidik KPK, gerbang kantor PKS dipasangi spanduk bertuliskan "Selamat Datang KPK di DPP PKS. Kami Senang Jika Dikau Datang Sesuai Hukum dan Akhlak Mulia".
Saat penyidik komisi itu datang untuk ketiga kalinya, Kepala Rumah Tangga DPP PKS Dwi Eka menyambutnya dengan memberikan setangkai mawar merah. Penyidik tidak menerima bunga itu sebagaimana mereka juga menolak pemberian apa pun, termasuk makanan dan minuman yang dihidangkan.
"Cinta bertepuk sebelah tangan," kata Dwi Eka sambil tersenyum. Saat menjawab pertanyaan wartawan, mawar merah itu masih dipegang. KPK sudah menolak dengan mengangkat tangan. (Ilham Khoiri)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.