Di Indonesia, melalui UU No 39 Tahun 1947, baik Pasal 1 maupun Pasal 2, ditegaskan bahwa sepanjang tidak terdapat ketentuan dalam KUHPM, yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP. Kedua UU saling melengkapi, seperti halnya penyelidikan oleh TNI, Polri, dan Komnas HAM. Begitu juga dalam keadaan yang amat perlu, untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dan tuntutan keadilan, diangkat majelis hakim atau tim oditur dari kalangan sipil yang diberi pangkat tituler.
Peristiwa ini harus dijadikan momentum perubahan dalam sistem peradilan militer. Landasannya adalah demokratisasi. Artinya, masyarakat sipil dapat mengontrol jalannya peradilan. Di pihak lain, peradilan militer harus dilakukan transparan kepada publik. Demokratisasi peradilan militer ini merupakan bagian dari pembenahan kultur hukum di lingkungan militer. Sementara revisi UU atau perppu hanya bagian pembenahan substansi dan struktur hukum.
Pembenahan kultur hukum lebih penting karena pembenahan substansi ataupun struktur akan sia-sia jika budaya hukum tidak berubah. Melalui pembenahan kultural, tentu tidak ada tempat terjadinya impunitas karena yang hendak diwujudkan adalah prinsip-prinsip the rule of law. Jiwa korsa para pelaku patut diapresiasi, tetapi tanggung jawab hukum tetap tidak boleh diabaikan. Bagaimanapun, hukum harus ditegakkan dan premanisme diberantas. Peradilan militer harus membuka diri dengan mengakomodasi aspirasi yang berkembang di masyarakat. Di lain pihak, peradilan militer berada di bawah MA untuk mewujudkan substansi keadilan dan pertanggungjawaban kepada publik.