Politisi kita tidak seharusnya mengejar target UU hanya karena dikritik kebanyakan tidur, makan gaji besar, suka pelesiran, serta pamer kekayaan lantas beramai-ramai mengajukan RUU yang sejatinya pesanan kelompok-kelompok penindas masyarakat sipil itu sendiri. Politisi kita di Senayan seharusnya tak menjadi politisi rabun ayam dan tuna nurani. Politisi kita harusnya tidak terjebak dalam gagasan besar pemberangusan hak-hak warga negara.
Bahwa mungkin ada warga negara yang membutuhkan aturan itu, bisa dipahami. Akan tetapi, politisi seharusnya taat kepada aturan dan berkewajiban menjalankan tugas secara maksimal. Ini jauh lebih penting. Sebab, warga negara sebenarnya selama ini jauh lebih teratur, disiplin, dan berwibawa ketimbang anggota Dewan/politisi.
Akankah negeri ini kembali pada kondisi tahun 1985 ketika politik menjadi panglima sehingga setiap warga negara yang berbeda dengan kebijakan negara kemudian akan diberangus, dibunuh, dan diseterilkan? Jika hal ini yang terjadi, demokrasi yang sedang tumbuh dan diharapkan mampu menjadi penopang masyarakat sipil akhirnya tidak bermakna karena aparat negara paranoid terhadap warga negara.
Oleh karena itu, DPR yang sedang bermasalah seharusnya tidak melemparkan masalah kepada masyarakat sipil. Selesaikanlah masalah DPR tersebut secara jantan sehingga masyarakat tidak semakin marah dan malas melihat gelagat dan sepak terjang para anggota Dewan.
Seharusnya para anggota Dewan sadar dan paham sebab sebagian besar dari mereka dapat dipastikan akan mencalonkan diri pada Pemilu 2014. Masyarakat sipil akan mencatat dan mencoba mengingat, sekalipun masyarakat sipil sering dibuat lupa ingatan terhadap perilaku para anggota Dewan. Anggota Dewan kita sering membuat masyarakat sipil lupa atas tindakan amoral, bejat, tidak etis, dan menindas sebab menjelang pemilu biasanya mereka mencoba menebarkan ”senyum”, ”gizi”, dan praktik-praktik ritual yang mampu menghipnotis masyarakat sipil.
Di sinilah pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat sipil segera dilakukan. Dengan demikian, masyarakat sipil tidak hanya menjadi bulan-bulanan anggota Dewan yang senantiasa menebarkan janji-janji kepada masyarakat sipil saat pemilu tiba. Rakyat sipil harus diberi pengetahuan yang memadai bahwa sebagian anggota Dewan membuat rakyat sipil menderita, termasuk dengan mengekang melalui RUU Ormas yang sangat jelas penuh dengan kecurigaan kepada masyarakat sipil.
Negara, dengan demikian, sedang menebarkan ancaman kepada masyarakat sipil. Sebab, dengan disahkannya RUU Ormas ini menjadi UU, ternyata selama ini masyarakat sipil diasumsikan oleh para pembuat UU (baca: DPR) sebagai penentang, penghalang, dan mbalelo terhadap negara.