Ahmad Arif
Mereka berjalan terus menuju ladang-ladang kentang yang berada di sekitar kawah. Beberapa perempuan menuntun anak kecil melintasi jalan terlarang itu. Apakah tidak takut? ”Khawatir sedikit, tetapi kami harus bekerja,” kata Amani (18), warga Dusun Simbar.
Amani adalah buruh harian, yang pagi itu hendak menyemprotkan fungisida di lahan kentang milik tetangga dusun. ”Saya dibayar Rp 20.000 per hari,” ujarnya sambil berlalu. ”Kalau tidak bekerja, kami tidak makan.”
Tiba-tiba, dua truk menerobos jalan itu, membawa para buruh pemecah batu. Sekitar 600 meter menuju Kawah Timbang, truk itu berhenti, persis di depan papan larangan masuk kedua. Dari kejauhan terlihat beberapa orang turun dan meminggirkan papan peringatan itu. Truk kemudian menghilang di balik bukit.
Beberapa relawan dari Banser Serbaguna (Bagana) dan Kepala Pos Pemantauan Dieng Tunut Pujiharjo, yang berjaga-jaga di dekat pintu masuk itu, hanya bisa menghela napas. ”Saya hanya bisa memperingatkan agar jangan masuk, tetapi mau bagaimana lagi. Tetap ada juga yang nekat,” katanya.
Nur Ngaziz (38), anggota Bagana dari Desa Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara menambahkan, ”Pernah kami sampai adu mulut dengan warga yang ngotot mau ambil sayur di dekat kawah.”
Sebagian besar para penerobos zona bahaya itu adalah
”Kawah Timbang memiliki ciri khas berupa ancaman gas beracun. Saat Kawah Sinila meletus tahun 1979, justru yang keluar gas beracun adalah Kawah Timbang. Gas itulah yang membunuh ratusan orang Desa Pocukan,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono.