Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghadapi Ancaman Senyap Dieng

Kompas.com - 04/04/2013, 03:42 WIB

Dini hari tanggal 20 Februari 1979 itu, warga dari Desa Pocukan yang ketakutan akibat letusan Kawah Sinila berlarian meninggalkan desa. Sebagian besar warga memilih melalui jalan aspal menuju arah Kota Kecamatan Batur. Tanpa mereka sadari, letusan itu memicu munculnya gas CO dan CO2 dari Kawah Timbang. Aliran gas tanpa bau itu mengalir jauh dan memotong jalan lintas yang berjarak 500 meter dari Kawah Timbang. Saat matahari menyingsing, 149 warga Pocukan ditemukan tewas di jalan itu.

Namun, Dayat (22), pemuda Simbar, mengaku tak gentar dengan cerita Sinila. ”Takut apa? Ini ada foto dan video kawahnya dari dekat, diambil siang tadi sambil ke ladang,” katanya, sambil menunjukkan gambar di telepon genggamnya. ”Itu saya ambil dari jarak 10 meter. Apakah mau saya temani ke sana?”

Kami pun menggeleng dan mengatakan berbahaya, tetapi dia malah tertawa keras-keras.

”Terkadang memang lebih sulit mengatur orang daripada mempelajari ilmu gunung apinya,” kata Surono, mengomentari kenekatan warga. ”Kami seperti komandan perang dengan musuh yang tidak tampak, tetapi mematikan.”

Berjaga-jaga

Jika warga lokal cenderung tenang-tenang saja, sebaliknya petugas PVMBG dan para relawan yang repot. Bahkan, Tunut bergantian dengan rekannya, Surip, siang malam berjaga di pos darurat yang didirikan di Dusun Simbar. Keduanya terus memantau informasi kegempaan dari petugas yang berjaga di Pos Pemantauan Dieng di Kecamatan Karangtengah, sekitar 9 kilometer dari Kawah Timbang.

”Begitu ada informasi peningkatan kegempaan, kawan di sana yang berjaga di pos segera mengirimkan informasi melalui radio. Jika itu terjadi, saya bisa segera berlari ke masjid dan mengumumkannya melalui pengeras suara,” katanya.

Tunut mengatakan, PVMBG bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebenarnya tak kurang-kurang memberikan sosialisasi bahaya gas beracun. ”Memang tidak gampang meyakinkan warga. Mungkin karena kebutuhan hidup,” katanya.

Tunut merasa dihadapkan pada simalakama. Di satu sisi, dia merasa berkewajiban menjaga keamanan warga dari bahaya gunung api, tetapi di sisi lain, kalau dia bersikap keras akan dimusuhi. ”Tahun 2011, begitu ada peningkatan aktivitas, kami langsung evakuasi warga Simbar, tetapi dampaknya mereka memusuhi kami. Ternyata evakuasi juga tidak efektif karena banyak juga yang tetap menerobos,” katanya.

Kini, Tunut dan para relawan yang terus berjaga-jaga hanya bisa berharap bahwa Kawah Timbang kembali tenang sehingga warga bisa kembali bekerja dengan tenang. Tunut pun bisa kembali pulang ke rumah....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com