JAKARTA, KOMPAS.com- Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta terkait gugatan Partai Keadilan dan Persatuan Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinilai bermasalah.
Oleh karena itu, beberapa lembaga pemantau peradilan dan pemilu melaporkan dugaan adanya pelanggaran kode etik dalam penanganan kasus ini kepada Komisi Yudisial, Rabu (3/4/2013).
Laporan disampaikan para pemerhati hukum dan pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Legal Roundtable (ILR), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
Dugaan adanya pelanggaran kode etik muncul karena dasar pertimbangan dalam memutus permohonan parsial, gugatan bisa diajukan tanpa limitasi, obyek sengketa terlalu luas dan tidak konsisten, majelis hakim mengurusi masalah kode etik yang bukan wilayahnya, serta menutup hak untuk kasasi.
"Kami melihat majelis hakim PTTUN tidak memiliki kapasitas memadai untuk memutus sengketa Pemilu. Karenanya, Mahkamah Agung perlu mengevaluasi kinerja hakim PTUN dalam perkara sengketa pemilu yang sudah berjalan. Kami juga meminta Komisi Yudisial memeriksa kemungkinan adanya pelanggaran kode etik dalam perkara PKPI," kata Erwin Natosmal Peneliti ILR, Selasa (2/4/2013) di Jakarta.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Prof Saldi Isra dan Pengajar Ilmu Hukum Administrasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Riawan Tjandra menyampaikan kajian mereka atas putusan PKPI.
Saldi menyoroti kekeliruan Majelis Hakim yang terdiri atas Santer Sitorus, Nurnaeni Manurungm dan Arif Nurdua dalam menilai putusan Bawaslu sebagai final dan mengikat.
Kenyataannya, dalam pasal 259 Undang-Undang 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD, tegas dicantumkan bahwa kewenangan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa bersifat final kecuali soal verifikasi partai politik calon peserta Pemilu dan soal daftar calon tetap anggota legislatif.
"Paling keliru adalah, PTTUN masuk wilayah kode etik yang bukan kewenangannya. Itu urusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)," kata Saldi.
Dalam putusan terkait gugatan PKPI yang dibacakan 20 Maret lalu, Majelis Hakim PTTUN menilai KPU melanggar kode etik karena tidak menjalankan putusan Bawaslu yang memerintahkan supaya PKPI dinyatakan memenuhi sebagai peserta Pemilu 2014.
Riawan juga menilai putusan ini janggal. Dilihat dari tenggang waktu pengajuan gugatan, UU Pemilu membatasi gugatan hanya bisa dilakukan tiga hari setelah putusan Bawaslu dibacakan.
Semestinya, majelis hakim PTTUN menolak pengajuan gugatan. Pengajuan gugatan ke PTTUN dilakukan pertengahan Maret, sedangkan putusan Bawaslu dibacakan 5 Februari.
Putusan ini kemudian ditolak KPU karena dinilai melampaui kewenangan dan tidak cermat. Ketika menilai gugatan boleh diajukan kapan saja, kata Riawan, majelis hakim membuat norma hukum sendiri.
Obyek sengketanya pun, lanjut Riawan, masih mempersoalkan Keputusan KPU nomor 5 tahun 2013 tentang Parpol Peserta Pemilu yang sesungguhnya sudah diuji di Bawaslu.
Selanjutnya, majelis hakim malah menguji tindakan KPU yang menolak melaksanakan putusan Bawaslu. Bawaslu lembaga kuasi yudikatif dan berwenang menguji hal tersebut, seharusnya PTTUN menguji alasan KPU tidak mau melaksanakan putusan Bawaslu.
Namun, PTTUN menganggap putusan Bawaslu sudah benar hanya dengan mendasarkan putusan tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Ini, lanjut Riawan, mengesankan majelis hakim memutus di luar kewenangan.
Obyek pengujiannya menjadi kabur dan berubah-ubah. Selain itu, semestinya majelis hakim PTTUN tidak melarang KPU untuk mengajukan kasasi.
Ini menjadi bentuk tidak dipenuhinya azas keseimbangan beracara. Lagipula, dalam UU Pemilu maupun Fatwa MA, tidak ada larangan bagi KPU untuk mengajukan upaya banding ataupun kasasi. Karenanya, Saldi berharap putusan PTTUN ini tidak menjadi yurisprudensi.
Karenanya, kata Erwin, hasil eksaminasi putusan PTTUN soal PKPI segera diserahkan kepada Komisi Yudisial. Pengabdi Bantuan Hukum YLBHI Julius Ibrani juga mengatakan, proses yang janggal dan meloloskan parpol yang melakukan pelanggaran di PTTUN tidak bisa dibiarkan. Ini hanya mencederai proses pemilu ke depan dan proses peradilan yang bersih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.